IHSG Berdarah, Ada Apa, Apa yang Harus Dilakukan
Pelaku pasar saham Indonesia panik, banyak yang bingung dengan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan terus menerus dalam seolah tak terbendung. Di grup saham dan komunitas banyak sekali bertebaran pertanyaan apakah saatnya jual rugi (cut loss) atau sudah saatnya beli atau (buy low) atau menunggu dahulu (wait and see)?
Apa itu IHSG
Untuk Anda pembaca Tagar yang masih belum mengenal pasar modal, ada baiknya kami berikan sekilas penjelasan.
IHSG merupakan salah satu indeks pasar saham yang digunakan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Ada sekitar 676 perusahaan yang sudah melantai di BEI dan seluruh harga saham yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan tersebut tercakup dalam IHSG. Dasar perhitungan IHSG adalah tanggal 10 Agustus 1982, dimana saat itu hanya ada 13 saham yang ada dengan Nilai Dasar 100.
Jika nilai IHSG naik, maka artinya harga-harga saham di BEI juga sedang meningkat. Sebaliknya jika posisi IHSG turun, maka dapat diartikan bahwa harga saham perusahaan yang ada di BEI sedang menurun.
Hampir seluruh negara maju dan berkembang memiliki Indeks Bursa sahamnya sendiri, misalnya di AS adalah Dow Jones, di Cina ada Indeks Shanghai. Dan biasanya pergerakan indeks ini juga digunakan sebagai tolak ukur perkembangan ekonomi di negara tersebut.
Bagaimana Kondisi IHSG Saat Ini
Penurunan IHSG sebenarnya sudah dimulai sejak 13 Januari 2020 lalu. Kala itu masih berada di level 6.325, dan dalam rentang waktu 2 minggu hingga 2 Februari 2020 turun dalam hingga -6.98% ke level 5.884. Sempat memantul naik sedikit ke 6.000 dalam seminggu hingga 6 Februari 2020, namun lanjut lagi turun signifikan hingga -7.7% hingga ke level 5.452 di 28 Februari 2020. Sehingga praktis, total penurunan IHSG sudah mencapai -13.8% dalam 46 hari terakhir.
Grafik Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG (Foto: Yahoofinance)
Berhubung, transaksi investor asing masih mencapai 38% atau Rp 97,5 triliun dari total transaksi Rp 255 triliun di BEI dari awal Jan 2020 ini, sudah pasti pergerakan IHSG sangat dipengaruhi oleh pergerakan bursa di luar negeri terutama dari Negeri Paman Sam Amerika Serikat yang menjadi pusat keuangan dunia. Dan memang kalau kita amati pergerakan Dow Jones Industrial Average milik AS untuk periode yang kurang lebih sama (48 Hari terakhir) menunjukkan pola yang sama yaitu penurunan hingga -14.02%.
Grafik Dow Jones Industrial Average (Foto: Yahoofinance)
Grafik Trading Value Investor (Foto: idx.co.id)
Bagaimana dengan Bursa Saham di ASEAN dan Asia Pacific?
Ternyata juga mengalami penurunan yang sama, bahkan dalam 12 bulan terakhir (hingga 28 Februari 2020) untuk Thailand SET Index (SETi) sudah mengalami penurunan paling dalam hingga -15.03%, diikuti oleh Indeks Harga Saham Gabungan Indonesia sebesar -13.44% dan Philippines PSE Index (SEi) di posisi ke-3 dengan penurunan sebanyak -13.15%.
Penyebab IHSG Turun Dalam
Ada 3 Faktor utama yang menyebabkan IHSG turun signifikan.
Pertama, karena imbas dari perlambatan ekonomi global dan dampak dari perang dagang AS dan Cina. Sejak 2019, Bank Sentral Amerika (The Fed) sudah berusaha mengantisipasi ketidakpastian ekonomi dengan memangkas suku bunga acuan hingga tiga kali dalam setahun sebesar 75 basis poin dari 2,25-2,50% menjadi 1,50-1,75%. Padahal The Fed sendiri terakhir sekali menurunkan suku bunga di 2008.
Di September 2019 yang lalu, Chairman The Fed Jerome Powell dan tim juga melakukan operasi pasar dengan memasukkan likuiditas senilai 128 miliar dolar AS atau Rp 1.792 Triliun dalam dua hari berturut turut. Langkah The Fed ini cukup efektif untuk meredakan kecemasan pasar hingga akhir 2019. Dow Jones Index sebenarnya sempat turun sebesar -6.79% hanya dalam waktu sebulan (Juni-Juli 2019). Naik kembali bahkan mencetak rekor tertinggi di level 29.550 pada awal Feb 2020 yang lalu.
Bagaimana dengan Bank Indonesia? Senada dengan The Fed, BI juga sepakat menurunkan suku bunga BI 7-day (Reserve) Repo Rate, dan bahkan lebih agresif yakni empat kali pemangkasan di 2019 dan satu kali di 20 Februari 2020 yang lalu. Total pemangkasan suku bunga adalah125 basis poin, yakni dari 6,00% di Juni 2019, turun bertahap hingga 4.75% di Februari 2020 ini.
Faktor yang kedua tentu dampak dari Virus Corona. Proses pemulihan ekonomi global tertahan setelah Covid-19 merebak akhir Januari 2020. Masih sulit untuk memperkirakan secara total dampak Covid-19 ini terhadap seluruh industri yang ada. Namun yang pasti, sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia dan pusat manufaktur terbesar, Cina merupakan produsen dari banyak barang konsumsi dan industri seperti ponsel, TV, pakaian, obat-obatan farmasi, spare part mesin dan kendaraan bermotor serta baja.
Banyak pabrik Cina telah ditutup karena pemerintah Cina berusaha menahan penularan Covid-19, dan hal ini tentu mengancam rantai pasokan dari perusahaan-perusahaan di AS seperti Apple dan perusahaan teknologi lainnya yang sebagian besar produksi mereka berada di negara Cina. Belum lagi perusahaan retail seperti Starbuck dan McDonald yang terpaksa menutup gerai mereka yang ada di Cina untuk mengantisipasi penyebaran virus ini.
Belum lagi di industri penerbangan, Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) menyatakan maskapai global berpotensi kehilangan pendapatan 30 miliar dolar AS atau setara Rp 441,2 triliun karena imbas Covid-19 terutama maskapai penerbangan di Chinadan wilayah Asia Pasifik lainnya.
Bagaimana di Indonesia? Sektor yang paling terpukul tentu adalah industri pariwisata utamanya di Bali. Kami sudah pernah mencoba melakukan perhitungan potensi kerugian per bulan di Bali yang mencapai Rp 1,37 Triliun.
Baca juga: Virus Corona Rugikan Bali Rp 1,37 Triliun Per Bulan
Dari pemaparan Gubernur BI Perry Warjiyo pada 20 Februari 2020 lalu dan dicantumkan juga pada halaman Bank Indonesia, bahwa optimisme berubah setelah terjadinya Covid-19 yang diprakirakan akan menekan perekonomian Cina dan menghambat keberlanjutan pemulihan ekonomi global, setidaknya pada triwulan I-2020.
Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2020 dari 3,1% menjadi 3,0%, dan kemudian meningkat menjadi 3,4% dari prakiraan semula 3,2% pada tahun 2021. Di pasar keuangan global, terjadinya Covid-19 telah meningkatkan risiko sehingga mendorong penyesuaian aliran dana global dari negara berkembang kepada aset keuangan dan komoditas yang dianggap aman, serta memberikan tekanan kepada mata uang negara berkembang.
Faktor yang terakhir adalah valuasi dari IHSG itu sendiri, dimana pada awal Januari 2020 level IHSG adalah 6.325 dengan Weighted Average Price Earning Ratio (PER) mencapai 20 kali dan ini sudah tergolong premium (mahal), dimana rata-rata WA PER IHSG dalam 10 tahun terakhir sekitar 16-17 kali. Dan kalau kita lihat dari Top 5 perusahaan penggerak IHSG seperti Bank BCA (BBCA), Bank BRI (BBRI), Bank Mandiri (BMRI), TLKM (TLKM) dan Unilever Indonesia (UNVR), rata-rata di awal Januari masih diperdagangkan di atas harga wajar (overvalued).
Contoh kita ambil sample yaitu Bank BRI (BBRI), yang mencapai harga tertinggi sepanjang masa yaitu di 4760 dengan PER 16,9 kali, padahal rata rata PER tertinggi BBRI dalam 6 tahun terakhir 13,7 kali. Jadi, sangat wajar sebagai satu siklus ekonomi, dimana ketika pasar sudah mencapai harga premium, maka ada waktunya untuk kembali ke level lebih rendah (keseimbangan pasar).
Apa yang Sebaiknya Dilakukan Pelaku Pasar Modal?
Lalu, bagaimana menyikapi kondisi IHSG yang sedang turun dalam ini, apa yang harus kita lakukan sebagai investor di pasar modal?
1. Sulit untuk memprediksi makro ekonomi dan menghitung dampaknya terhadap pasar saham, sehingga kami tetap menyarankan untuk tetap fokus pada kinerja perusahaan. Artinya saat ini jika Anda sudah memiliki saham yang berkinerja sehat, tidak perlu khawatir karena dalam waktu panjang, perusahaan yang berkinerja sehat maka harga sahamnya juga akan naik lagi. Sederhananya, saham perusahaan sehat tetap menjadi incaran para Investor besar atau institusional.
Lalu bagaimana jika Anda tidak paham dengan kinerja perusahaan yang Anda sudah beli sahamnya? Situasi ini tentu tidak mudah karena dari awal ketika Anda membeli suatu saham tanpa paham fundamental perusahaannya, kemungkinan besar Anda sedang berspekulasi di pasar saham, artinya pilihan terbaik adalah jual rugi (cut loss) mengikuti trading plan Anda. Kami sendiri tidak menyarankan untuk berspekulasi di pasar saham.
2. Jika Anda masih memiliki cash, jangan terburu buru membeli, pastikan Anda tahu di level mana saham perusahaan itu benar-benar murah (diskon) barulah Anda beli secara bertahap. Jika Anda mengikuti beberapa tulisan kami sebelumnya, salah satu metode relative valuation yang bisa Anda gunakan untuk mengetahui harga suatu saham sudah murah atau mahal adalah Price Earning Ratio (PER).
3. Untuk Anda yang saat ini berinvestasi di reksadana terutama reksadana campuran dan reksadana saham, perhatikan level IHSG, jika turun mencapai level 5.400 maka Anda sudah bisa mulai membeli lagi unit reksadana yang bagus menurut Anda secara bertahap. Saran kami, sebelum membeli, pastikan reksadana tersebut mencatat kinerja return yang bagus minimal dalam 3 tahun terakhir.
4. Kita tidak tahu seberapa dalam IHSG akan turun, demikian juga harga saham perusahaan yang sehat. Tapi yang perlu kita pastikan adalah, ketika membeli saham harga yang kita peroleh sudah tergolong murah (diskon)
Yossy Girsang
Investment Manager Representative License from OJK, No KEP-40/PM.211/WMI/2020.
Founder & CEO of YG Strategic
CP: +6281-1386-3330
Tulisan ini juga sudah dipublish di https://www.tagar.id/ihsg-berdarah-ada-apa-apa-yang-harus-dilakukan