China–Jepang Memanas Akibat Isu Taiwan
Ketegangan antara China dan Jepang kembali mencapai puncaknya, menciptakan salah satu momen paling genting dalam hubungan kedua negara dalam beberapa tahun terakhir.
Situasi memanas sejak pernyataan Perdana Menteri Jepang yang baru, Sanae Takaichi, pada 7 November 2025 di parlemen Jepang. Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa serangan China terhadap Taiwan dapat dianggap sebagai “situasi yang mengancam kelangsungan hidup Jepang”, sebuah kategori krisis yang memberi dasar hukum bagi Jepang untuk mengerahkan kekuatan militer di bawah Undang-Undang Keamanan 2015.
Bagi Beijing, pernyataan ini tidak hanya provokatif tetapi juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan karena China menegaskan bahwa Taiwan merupakan bagian dari wilayahnya.
Di China, pernyataan ini segera memicu kemarahan publik dan respons negara yang tidak kalah keras. Pemerintah di Beijing meluncurkan serangkaian langkah yang menyasar Jepang secara ekonomi dan diplomatik.
Kementerian Luar Negeri China merilis peringatan perjalanan yang meminta warganya untuk tidak mengunjungi Jepang dengan alasan keamanan. Efeknya langsung terasa: ratusan ribu pemesanan dibatalkan dan angka kunjungan wisatawan asal China anjlok drastis hingga delapan puluh persen.
Bagi Jepang, yang selama bertahun-tahun bergantung pada wisatawan China sebagai salah satu penyumbang pendapatan terbesar sektor pariwisata, pukulan ini terasa sangat berat.
China juga menangguhkan impor makanan laut Jepang, menghidupkan kembali larangan yang sebelumnya diberlakukan pada 2023 terkait pembuangan air limbah Fukushima.
Dunia hiburan Jepang ikut terdampak karena sejumlah konten budaya tak lagi bisa beredar di pasar China. Film dan animasi Jepang seperti Crayon Shin-chan hingga Cells at Work! ditarik dari bioskop, sementara penayangan lainnya merosot akibat sentimen publik yang memburuk.
Dalam ranah diplomasi, retorika yang digunakan Beijing semakin keras. Media negara memperingatkan bahwa Jepang bisa membuka pintu menjadi “medan perang” jika ikut campur dalam persoalan Taiwan, dan pernyataan tegas pun bermunculan dari pejabat tinggi termasuk ancaman yang sempat tersebar melalui media sosial diplomat China di Tokyo.
Ketegangan meningkat lebih jauh saat kapal penjaga pantai China kembali memasuki perairan Kepulauan Senkaku, wilayah yang dikuasai Jepang namun diklaim sebagai Diaoyu oleh Beijing. Kehadiran itu menjadi patroli pertama sejak pernyataan Takaichi dan semakin menambah kekhawatiran akan potensi insiden militer di Laut China Timur.
Tokyo berusaha menahan laju eskalasi dengan mengirim utusan senior ke Beijing. Namun pembicaraan selama dua hari itu berakhir tanpa hasil berarti. Pemerintah Jepang kemudian mengeluarkan peringatan bagi warganya di China untuk meningkatkan kewaspadaan dan menghindari kerumunan, sementara keamanan diperketat di fasilitas diplomatik.
Secara ekonomi, situasinya tidak menguntungkan Jepang. Saham di sektor pariwisata, ritel, hingga transportasi mengalami tekanan tajam, dengan estimasi kerugian mencapai 1,79 triliun yen dalam setahun apabila boikot terus berlangsung.
Meskipun demikian, posisi politik Takaichi yang dikenal sebagai tokoh konservatif dan keras terhadap China membuat kecil kemungkinan ia akan menarik kembali pernyataannya. Pemerintah Jepang menegaskan bahwa kebijakan nasional tidak berubah, namun tekanan yang dihadapi Takaichi dari dalam negeri dan luar negeri terus meningkat.
Bagi China, krisis ini menjadi momen untuk menunjukkan kekuatannya dalam menggunakan ekonomi sebagai alat diplomasi, strategi yang pernah diarahkan pada Australia dan Korea Selatan. Namun pendekatan ini juga memunculkan kekhawatiran di negara lain yang waspada terhadap pola koersi ekonomi Beijing.
Akar ketegangan Jepang–China sudah terentang panjang dari sejarah masa lalu, terutama sejak invasi Jepang ke China pada era Perang Dunia II. Di era modern, isu Taiwan menjadi semakin genting karena kedekatan geografis dan hubungan pertahanan Jepang dengan Amerika Serikat.
Jepang memandang situasi Taiwan sebagai elemen vital bagi keamanan nasional dan stabilitas jalur perdagangan energi menuju Jepang. Sementara itu, China terus memperkuat kehadirannya di kawasan, terbukti dari intensitas patroli di sekitar Senkaku yang mencapai titik tertinggi pada 2025.
Meskipun Perdana Menteri Takaichi dan Presiden Xi Jinping sempat bertemu pada Oktober 2025 dan memberi sinyal positif tentang stabilitas hubungan, perkembangan beberapa pekan terakhir menunjukkan arah yang berlawanan. Negara-negara tetangga, termasuk Amerika Serikat, terus memantau situasi dengan cermat karena potensi dampaknya pada keamanan kawasan Indo-Pasifik.
Untuk saat ini, tensi tetap tinggi. Masa depan hubungan China–Jepang akan bergantung pada seberapa jauh kedua negara bersedia menahan diri dan membuka jalur dialog yang produktif. Dengan perdagangan bilateral yang bernilai ratusan miliar dolar, kedua pihak menghadapi risiko besar jika konflik berlanjut.
Dunia kini menunggu apakah diplomasi bisa meredam bara yang kembali menyala di Asia Timur atau justru menjadi saksi awal dari babak baru persaingan geopolitik antara dua kekuatan besar di kawasan tersebut.
