PT Aneka Tambang Tbk Tidak Efisien, Pemegang Saham Merugi
Tahun ini, PT Aneka Tambang Tbk (Antam) akan memasuki usia 52 tahun. Antam didirikan tahun 1968 sebagai Badan Usaha Milik Negara yang berasal dari proses merger beberapa perusahaan pertambangan nasional pada saat itu.
Lalu pada tahun 1997, Antam menawarkan saham perdananya atau Initial Public Offering (IPO) sebesar 35% kepada publik di Bursa Efek Indonesia (BEI). Tujuannya, memperoleh dana segar untuk pendanaan proyek ekspansi feronikel FeNi III. Setelah FeNi III di Pomalaa beroperasi kapasitas produksi Antam naik dari 7.000 ton nikel menjadi 27.000 ton nikel. Kode saham Aneka Tambang di BEI adalah ANTM. Dua tahun kemudian di 1999, Antam menawarkan sebagian sahamnya lewat IPO di Bursa Efek Australia dengan status foreign exempt entitydan akhirnya di 2020 status tersebut naik menjadi ASX Listing.
Pada 12 Juli 2007, saham Aneka Tambang sempat di stock split dengan rasio 1:5 sehingga dari harga Rp 13.250 berubah menjadi Rp 2.650 per lembar saham dengan jumlah saham naik 5 kali lipat juga.
Tujuan Manajemen ANTM Tidak Sejalan Fakta
Jika melihat pemaparan dari BUMN yang dipimpin oleh Dana Amin ini di halaman website perusahaan, salah satu tujuan perusahaan adalah berfokus pada peningkatan nilai pemegang saham.
OK, apakah hal ini benar dilaksanakan oleh manajemen Antam?
Mari kita lihat harga saham Aneka Tambang dalam jangka panjang. Di tanggal 25 November 2007, harga saham ANTM pernah mencapai rekor tertinggi di angka Rp 4.451 dan ditutup pada harga Rp 3.926 per lembar saham. Dan setelah 13 tahun, harga saham ANTM turun sangat dalam hingga mencapai harga Rp 610 per lembar saham pada penutupan perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 6 Maret 2020.
Artinya kalau ada Investor yang menggantungkan nasib dana pensiunnya pada saham Antam selama 13 tahun, maka kerugian yang dialami senilai 84,5%. Atau anggap saja investor tersebut tidak membeli di harga Rp 3.926, namun setengah yaitu di harga Rp 1.963, jadi investor itu membeli saham ANTM setelah turun 50% dari harga tertingginya sepanjang masa. Maka kerugian yang dialami juga masih cukup besar yaitu 68,9%, belum termasuk rugi inflasi atau penurunan nilai mata uang rupiah setiap tahunnya.
Bahkan jika membeli di harga terendah di Oktober 2009 yaitu Rp 789 per lembar saham ANTM, maka setelah menyimpannya selama 10 tahun 5 bulan, justru pemegang saham ANTM masih merugi sebesar 22,7%, belum termasuk inflasi setiap tahun yang harus ditanggung.
Seringkali di benak masyarakat awam terutama yang baru masuk ke Pasar Modal Indonesia dalam hal ini Bursa Efek Indonesia, akan aman jika berinvestasi di saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tapi kenyataan pada saham ANTM tidak seperti pemikiran masyarakat pada umumnya.
Analisa Kinerja ANTM
Mengapa hal ini dapat terjadi? Sebelum kita mengambil pembelajaran dalam kasus ini, ada baiknya kita analisa terlebih dahulu PT Aneka Tambang Tbk sebagai BUMN penghasil emas dan nikel Indonesia ini selama 13 tahun terakhir.
Dari sisi penjualan bersih, sebenarnya manajemen Aneka Tambang berhasil menaikkan angka pencapaian penjualan sebesar 529% selama 13 tahun terakhir, atau rata-rata pertumbuhan 40,7% pertahun. Kenaikan paling signifikan terjadi pada tahun 2018 dimana pada saat itu penjualan bersih Antam tercatat sebesar Rp 25,24 triliun, atau naik 99% dibanding tahun 2017.
Berdasarkan detail penjelasan yang disampaikan oleh manajemen Aneka Tambang di halaman Laporan Keuangan 2018, bahwa komoditas emasmerupakan komponen terbesar pendapatan ANTM yaitu sebesar Rp 16,69 triliun atau 66% dari total penjualan bersih ANTM tahun 2018. Sebagai informasi, penjualan bersih komoditas emas di 2018 tumbuh hingga 126% dibanding tahun 2017 yang tercatat Rp 7,37 triliun.
Setelah emas, Feronikel merupakan komoditas kedua yang paling banyak dijual oleh ANTM dan mampu bertumbuh hingga 45% dibanding tahun 2017, dengan total penjualan bersih Rp 4,66 triliun atau 18% dari total penjualan bersih Aneka Tambang.
Yang menjadi persoalan adalah ketika mengukur kemampuan Manajemen ANTM untuk mengatur pengeluaran perusahaan dan melakukan efisiensi, trennya menunjukkan penurunan margin yang terus menerus. Baik itu dari rasio Operating Profit Margin (OPM) maupun Net Profit Margin (NPM).
Rasio operating profit margin mengukur seberapa besar kemampuan dalam menghasilkan laba operasi (laba usaha) dari penjualan bersih perusahaan. Dimana laba operasi adalah laba perusahaan yang didapatkan dari penjualan bersih setelah dikurangi dengan beban pokok penjualan, beban beban penjualan, beban umum dan administrasi
Di 2006, Aneka Tambang masih mampu mencetak OPM yang sangat tinggi yaitu 42,7%, demikian juga puncaknya ada di 2007 sebelum resesi ekonomi sebesar 56,44%. Dan sayangnya terus mengalami penurunan yang cukup signifikan bahkan selalu di bawah 10% sejak tahun 2012. Dalam 4 tahun terakhir ini yaitu dari 2016 hingga 2019, rata-rata Operating Profit Margin ANTM hanya sekitar 4,01%.
Demikian juga dengan rasio Net Profit Margin, tren penurunannya sama seperti rasio Operating Profit Margin. Setelah 2013, ANTM tidak pernah lagi mampu mencapai net profit margin di atas 10%.
Untuk sedikit memberi gambaran, rasio Net Profit Margin (NPM) membandingkan nilai laba bersih terhadap penjualan bersih perusahaan.
Net Profit Margin Aneka Tambang dalam 4 tahun terakhir (2016-2019) rata-rata hanya mencapai 1,99%, sangat kecil dan menggambarkan bahwa perusahaan tidak dijalankan dengan efisien.
Dan jika membaca di Laporan Keuangan Aneka Tambang tahun 2018, ternyata Aneka Tambang memiliki 27 anak perusahaan. Kondisi ini mirip seperti kasus Garuda Indonesia yang juga memiliki anak perusahaan yang banyak padahal anak perusahaan tersebut tidak menguntungkan seperti yang pernah disampaikan oleh Menteri BUMN Erick Thohir.
Menurut hemat kami, 27 anak perusahaan ANTM ini juga sebaiknya direview dan analisa satu persatu, mana yang justru membebani induk perusahaan Aneka Tambang lebih baik ditutup atau dilikuidasi.
Pemegang saham terbesar ANTM dirugikan
Persoalan yang lebih rumit lagi menurut kami adalah pemegang saham ANTM ternyata Lembaga negara yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak atau masyarakat.
Kalau Anda melihat data di atas, ada Dana Jaminan Hari Tua masyarkat yang jika dihitung dengan harga di tanggal 6 Maret 2020 yaitu Rp 610, maka nilainya mencapai Rp 323 miliar. Data yang kami perolah dari Laporan Keuangan ANTM, bahwa DPS Ketenagakerjaan Program JHT sudah memiliki 2.21% dari total saham ANTM sejak 2012, yaitu ketika harga saham ANTM masih berada di level Rp 1.500 per lembar saham. Artinya Dana JHT yang dimasukkan ke saham ANTM sejak 8 tahun yang lalu, nilainya sudah menyusut sekitar 59.3%. Di dalam list ada juga TASPEN Asuransi, BPJS Ketenagakerjaan, Asuransi Jiwasraya, ASABRI, dan juga beberapa Manajer Investasi seperti Sucorinvest Equity Fund, HPAM Syariah Ekuitas, Manulife Dana Ekuitas.
Berdasarkan fakta fakta yang sudah kami sampaikan di atas, menurut kami, saham ANTM saat ini tidak menarik untuk investasi jangka panjang, bahkan dapat dikatakan merugi cukup besar jika berinvestasi lebih dari 10 tahun ini Saham ANTM. Dan pekerjaan rumah saat ini untuk Manajemen baru ANTM yang baru diangkat di Oktober 2019 kemarin oleh Menteri BUMN Erick Thohir, tidak hanya mengejar proyek untuk meningkatkan produksi dan penjualan, tapi juga harus mampu mengatur pengeluaran perusahaan agar lebih sehat dan efisien.