Starbucks vs Luckin, Perang Kopi yang Mengubah Gaya Hidup Orang Tiongkok
Ketika Starbucks pertama kali membuka gerainya di Tiongkok pada tahun 1999, banyak orang skeptis. Bagaimana mungkin kopi minuman yang asing bagi budaya Tiongkok yang ribuan tahun lamanya identik dengan teh bisa laku di sana? Tapi justru di situlah letak kecerdikan strategi Starbucks. Mereka tidak datang untuk mengajarkan orang Tiongkok minum kopi, melainkan untuk menciptakan gaya hidup baru di sekitar kopi. Starbucks memperkenalkan kopi bukan sebagai sekadar minuman, tapi sebagai simbol modernitas, kesuksesan, dan koneksi sosial.
Starbucks melakukan riset besar-besaran sebelum masuk ke pasar Tiongkok. Mereka menemukan bahwa masyarakat di sana tidak datang ke kedai kopi untuk sekadar minum, tetapi untuk bersosialisasi dan membangun hubungan. Dari sinilah konsep “third place” atau tempat ketiga diciptakan dan dipopulerkan, tempat yang bukan rumah, bukan kantor, tapi ruang nyaman untuk bersantai, bekerja, belajar, atau sekadar ngobrol bersama teman. Gerai Starbucks di Tiongkok didesain luas, ber-AC, memiliki Wi-Fi gratis, serta suasana cozy yang membuat orang betah berjam-jam.
Menariknya, Starbucks juga sengaja memosisikan dirinya sebagai merek premium. Harga kopinya dibuat lebih mahal daripada rata-rata, bukan karena biaya produksi, melainkan karena mereka ingin menciptakan persepsi eksklusif. Di mata banyak anak muda Tiongkok, membawa gelas Starbucks ke kampus atau tempat kerja menjadi semacam “status symbol.” Sebuah riset bahkan menemukan bahwa 71% mahasiswa di Tiongkok merasa lebih berkelas dan modern ketika nongkrong di Starbucks. Gaya hidup inilah yang membuat Starbucks cepat melejit dan menjadi tren sosial di kalangan menengah ke atas.
Tak hanya berhenti di situ, Starbucks juga pintar beradaptasi dengan selera lokal. Mereka meluncurkan menu yang terinspirasi budaya Tiongkok, seperti frappuccino teh hijau dan kue bulan khusus saat festival tengah musim gugur. Gabungan antara strategi global yang elegan dan penyesuaian lokal yang cermat membuat mereka menjadi pemimpin pasar. Pada akhir 2017, Starbucks sudah memiliki lebih dari 3.000 gerai di 136 kota dan menguasai sekitar 42% pangsa pasar kopi di Tiongkok sebuah pencapaian luar biasa dalam waktu kurang dari dua dekade.
Namun kejayaan itu tidak berlangsung lama. Pada tahun 2018, sebuah pemain baru muncul dan langsung mengguncang pasar Luckin Coffee. Berbeda dari Starbucks, Luckin hadir dengan pendekatan yang sepenuhnya digital, cepat, dan efisien. Semua transaksi dilakukan lewat aplikasi ponsel, mulai dari pemesanan hingga pembayaran. Dengan sistem ini, Luckin bisa mengumpulkan data pelanggan secara detail kebiasaan minum mereka, jam sibuk, hingga preferensi rasa lalu memberikan promosi atau diskon yang sangat personal.
Luckin tidak membangun kedai besar dengan sofa empuk dan Wi-Fi gratis. Sebaliknya, mereka membuka ribuan “pickup counter” kecil di dekat perkantoran dan kampus. Konsep ini memangkas biaya operasional besar-besaran dan membuat harga kopi mereka bisa 25–50% lebih murah dari Starbucks. Dengan strategi itu, Luckin tumbuh luar biasa cepat rata-rata membuka lebih dari lima gerai baru setiap hari dari 2018 hingga 2019. Dalam waktu singkat, jumlah gerai mereka bahkan melampaui Starbucks di Tiongkok.
Luckin juga tahu bagaimana menyesuaikan rasa dengan lidah lokal. Mereka menciptakan minuman unik seperti latte kelapa mentah, yang menggabungkan rasa kopi dengan sentuhan teh susu khas Asia. Inovasi rasa dan harga terjangkau membuat Luckin digemari generasi muda yang lebih praktis dan digital. Akibatnya, persepsi masyarakat terhadap kopi pun berubah drastis. Jika sebelumnya kopi dianggap simbol kemewahan, kini menjadi bagian dari rutinitas harian “bahan bakar” untuk bekerja, bukan lagi tanda status sosial.
Situasi ini membuat Starbucks terjebak dalam dilema besar. Jika mereka menurunkan harga untuk bersaing, citra premiumnya bisa rusak. Tapi jika tetap mempertahankan harga tinggi, mereka berisiko kehilangan pelanggan. Apalagi muncul semakin banyak pesaing lokal dan internasional yang menawarkan konsep serupa dengan harga lebih murah. Starbucks mencoba menyesuaikan diri, misalnya bekerja sama dengan platform pengiriman makanan dan membuat gerai digital, tetapi hasilnya tidak sekuat yang diharapkan. Potongan harga yang mereka berikan malah membuat merek mereka kehilangan aura eksklusifnya.
Masalah lain adalah hilangnya keunikan pengalaman “tempat ketiga” yang dulu menjadi daya tarik utama Starbucks. Kini, banyak kafe independen, coworking space, dan ruang publik modern menawarkan pengalaman nongkrong yang lebih menarik dengan harga lebih bersahabat. Di mata generasi muda Tiongkok, Starbucks tidak lagi istimewa hanya satu dari sekian banyak tempat minum kopi yang nyaman.
Akibatnya, pangsa pasar Starbucks di Tiongkok anjlok dari 42% pada puncak kejayaan menjadi sekitar 14% saat ini. Pendapatan mereka pun turun, meskipun ada sedikit tanda pemulihan dalam beberapa kuartal terakhir. Namun tekanan kompetisi masih berat, dan kabarnya Starbucks sedang mempertimbangkan untuk menjual sebagian bisnisnya di Tiongkok dengan nilai sekitar 5 miliar dolar AS.
Kini muncul pertanyaan besar, apakah Starbucks bisa bertahan hingga tren pasar berbalik arah? Dunia digital memang membuat orang lebih sibuk dan individualis, tapi sebagian analis percaya bahwa akan tiba saatnya masyarakat kembali mencari koneksi manusia dan pengalaman offline yang nyata. Jika momen itu datang, mungkin Starbucks masih punya peluang untuk kembali menemukan “tempat ketiganya” bukan sekadar sebagai kedai kopi, tapi sebagai ruang untuk merasa terhubung.
