Apakah Saham Telkom sudah Diskon
Hingga 20 Maret 2020, saham Telkom atau PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) sudah turun dalam hingga ke level Rp 2.880
Harga saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini sempat menguat dan naik 9,92% hanya dalam sehari perdagangan pada Jumat minggu lalu. Banyak pihak yang masih belum yakin akan ada kenaikan lanjutan. Namun jika kita perhatikan dalam setahun terakhir, harga tertinggi saham Telkom (TLKM) sempat berada di posisi tertinggi yaitu Rp 4.450 pada 25 Agustus 2020. Sehingga jika mengacu pada harga tertinggi ini, saham Telkom sebenarnya sudah turun -35,3% dalam setahun terakhir. Pertanyaannya tentu, apakah harga ini sudah menarik untuk mulai membeli saham Telkom?
Sekilas Sejarah Telkom
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) sudah teruji melewati berbagai fasa perubahan dan tantangan bisnis. Fasa pertama dimulai dari tahun 1882 ketika telepon muncul yang akhirnya menggantikan peran layanan pos dan telegraf yang sangat popular mulai tahun 1856. Industri telepon berkembang sangat pesat, dimana pada tahun 1929 dunia sudah terkoneksi lewat layanan telepon internasional.
Fasa kedua terjadi tahun 1961 ketika Pemerintah Indonesia membangun PN Postel atau Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi. Dan karena pesatnya layanan pada telepon telex, pemerintah Indonesia memisahkan segmen industri pos dan telekomunikasi lewat PP No 30 tanggal 6 Juli 1965, sehingga lahirlah PN Pos dan Giro serta PN Telekomunikasi. Nantinya dari PN Telkomunikasi menjadi awal terbentuknya Telkom yang ada saat ini.
Fasa ketiga terjadi tahun 1995 ketika Teknologi Seluler mulai tumbuh dengan cepat dan mengancam keberadaan telepon (fixed line). Masyarakat mulai ramai membeli telepon selular dan menggunakan teknologi GSM untuk bertelepon dan mengirimkan sms. Di tahun 1995, berdirilah anak usaha Telkom yaitu Telkomsel yang meluncurkan kartu HALO pascabayar. Di tahun 1997, jaringan telkomsel telah terhubung di hampir seluruh area dan provinsi di Indonesia.
Fasa berikutnya yaitu saat ini tentu erat kaitannya dengan semakin berkembangnya era digital, dimana masyarakat saat ini lebih banyak menggunakan paket data 3G dan 4G untuk bertransaksi dan menikmati layanan streaming di smart phone nya. Tentu ini tantangan tersendiri dari Telkom agar juga mampu bertransformasi menjadi perusahaan telekomunikasi yang berbasis digital.
Sebagai informasi, pada Agustus 2018, telah diluncurkan Satelit Merah Putih oleh SpaceX, perusahaan transportasi luar angkasa milik Elon Musk di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat. Satelit ini milik dari PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) untuk menjangkau dan menghubungkan daerah tertinggal yang sulit untuk dijangkau dengan jaringan serat optik.
Segmen Bisnis dan Sumber Pendapatan Telkom
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimana Pemerintah Indonesia merupakan pemegang saham pengendali Telkom sebesar 52.09% atau 51,6 miliar lembar saham. Telkom saat ini memiliki 12 anak usaha dengan kepemilikan langsung dan 21 anak usaha dengan kepemilikan tidak langsung. Yang menurut hemat kami, seperti tulisan kami sebelumnya mengenai Saham Aneka Tambang (Antam), permasalahan di BUMN adalah jumlah anak usaha yang terlalu banyak, dan ini justru membebani perusahaan. Perlu Anda ketahui bahwa saat ini, anak usaha Telkom yaitu PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) menopang sekitar 70% dari total pendapatan Telkom. Tentu hal ini kurang baik, bagaimana mungkin anak usaha justru menopang sebagian besar pendapatan Telkom? Jika saja Telkomsel yang masuk ke Bursa Efek Indonesia (BEI), maka Investor tentu akan lebih tertarik membeli saham Telkomsel daripada saham Telkom, dividennya pasti akan lebih besar dan jelas.
Dari total pendapatan Telkom di kuartal tiga 2019 yang sebesar Rp 102,6 triliun atau setara dengan Rp 134,2 triliun jika disetahunkan, maka pendapatan terbesar berasal dari data, internet dan jasa teknologi informatika yang menyumbang hingga 64%. Lalu diikuti oleh telepon selular sebesar 19%. Dan pendapatan lainnya berupa CPE terminal, penjualan peripheral, sewa Menara telekomunikasi, call center service dan e-payment sebesar 7%. Sedangkan telepon fixed lain untuk di rumah dan di kantor hanya menyumbang 4% dari total pendapatan Telkom dan angka ini menunjukkan trend penurunan setiap tahunnya. Bisnis legacy atau layanan percapakan dan sms terus mengalami penurunan, karena masyarakat mulai beralih melakukan percakapan dan sms lewat aplikasi digital yang berbasis data misalnya WhatsApp, Telegram, Line, dan lain lain.
Pendapatan dan Laba Bersih Telkom
Dalam 6 tahun terakhir, dari 2014 hingga 2019, pendapatan Telkom menunjukkan tren meningkat, walaupun ada perlambatan di 2 tahun terakhir terutama di 2018 dan 2019 yang hanya di bawah 3%. Khusus untuk tahun 2019 disetahunkan, pendapatan Telkom hanya tumbuh 2,6% yaitu dari Rp 130,8 triliun di 2018 menjadi Rp 134,2 triliun di 2019.
Jika melihat pada laba bersih, dari 2014-2017, Telkom masih mampu meningkatkan laba bersihnya dengan pertumbuhan rata-rata 15.5% per tahun. Namun di tahun 2018, laba bersih Telkom turun -18.6% dari Rp 22,2 triliun di 2017 menjadi Rp 18 triliun di 2018. Hal ini disebabkan oleh persaingan ketat lewat perang harga di layanan Data seiring dengan diimplementasikannya kebijakan pendaftaran kartu SIM prabayar oleh pemerintah lewat Kominfo. Kondisi 2018 dapat dikatakan sebagai kondisi perang harga yang tidak sehat, namun Telkom mengambil inisiatif untuk menaikkan harga layanan Data dengan alasan tetap menjaga level kualitas pelayanan agar industri dapat bertumbuh dalam jangka panjang. Setelah proses registrasi kartu SIM prabayar dilakukan oleh masyarakat, model bisnis penjualan Telkom beralih ke penjualan paket isi ulang, tidak lagi penjualan kartu perdana, dengan harapan dapat menurunkan biaya produksi dan distribusi kartu baru.
Di tahun 2019, laba bersih Telkom kembali ke tren positif yaitu naik 12.4% dari Rp 18 triliun di 2018 menjadi Rp 20,3 triliun di 2019.
Di tahun 2018 ketika pemerintah melakukan implementasi kebijakan registrasi kartu SIM prabayar, industri telekomunikasi seluler Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan dari layanan legacy (percakapan dan sms) menjadi layanan digital (data), dan memacu persaingan ketat berupa perang harga di layanan data.
Meneruskan catatan dari riset yang dilakukan oleh Deutsche Bank, marjin keuntungan atau profit margin dari layanan data mengalami penurunan signifikan. Pada kuartal empat 2015, laba dari layanan data Telkomsel masih berada di level Rp 44/Megabit, namun angka ini turun terus hingga hanya Rp 9,7/Megabit di kuartal 1 2019. Sementara seperti yang kami sampaikan di atas, layanan data sendiri menyumbang 64% dari total pendapatan Telkom. Hal ini tercermin dari grafik di atas dimana profit margin Telkom di 2018 turun 3.5% dari 17,3% di 2017 menjadi 13,8%, dan mampu naik lagi ke 15,1% di 2019 karena Telkomsel mengambil inisiatif untuk menaikkan harga layanan Data, dan fokus pada model bisnis paket isi ulang.
Sejalan dengan itu, Return on Equity (ROE) dari Telkom juga sempat turun hingga 5,7% dari 23,9% di 2017 menjadi 18,2% di 2018. Lalu naik lagi di 2019 menjadi 20,3% walaupun masih di bawah level ROE di 2017.
Buat Anda pembaca tagar yang baru mengenal kedua rasio ini, return on equity (ROE) digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari investasi pemegang saham, sedangkan NPM digunakan untuk mengukur seberapa efisien manajemen mengelola dalam menghasilkan laba bersih. Semakin tinggi kedua rasio ini maka semakin sehat pula perusahaan.
Apakah Saham Telkom layak dibeli, bagaimana prospeknya?
Menurut analisa kami, secara kinerja PT Telkomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) masih tergolong baik dengan kondisi persaingan ketat dan perang harga mulai tahun 2018 menggerus laba bersih dan marjin keuntungan perusahaan. Namun di 2019, kami melihat Telkom mampu memperbaiki kinerja dengan tren positif pada pendapatan dan laba bersih. Demikian juga level net profit margin yang masih di atas 10%, dan return on equity di atas 15%.
Kami melihat bahwa Direksi Telkom yang dipimpin oleh Ririek Adriansyah masih memiliki kesempatan untuk menurunkan beban perusahaan dengan menyisir anak perusahaan yang tidak efisein, lalu menutup atau melakukan akusisi, sehingga ke depannya organisasi bisa tetap flexible menghadapi fasa perubahan yang akan datang.
Jika menggunakan kacamata Investor, sebenarnya Investor lebih menarik untuk memiliki saham anak perusahaan Telkomsel, dan menurut kami ada baiknya hal ini juga menjadi pertimbangan pemerintah untuk menawarkan saham perdana (IPO) dari PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) di Bursa Efek Indonesia.
Persaingan ke depan tentu bicara mengenai layanan data 5G, dimana jaringan 5G ini membutuhkan belanja modal atau capital expenditure (Capex) yang relatif tinggi. Selain Capex tinggi, biaya operasionalnya juga memakan biaya. Sehingga, untuk Anda yang berminat membeli saham Telkom dalam jangka panjang, harus mempertimbangakan hal ini. Tentu ketika pemerintah Indonesia sudah memutuskan masuk ke layanan 5G, maka hal ini tentu berdampak pada kinerja dari Telkom setidaknya pada masa masa investasi yang memerlukan modal besar.
Dampak dari wabah virus corona telah mengakibatkan hampir seluruh saham bluechip turun signifikan. Dengan harga di level Rp 2.880 maka PER Telkom saat ini adalah 14x, dimana rata-rata PER terendah Telkom dalam 6 tahun terakhir sekitar 16.5x, dan harga saham Telkom berada di PER 14x terakhir kali di tahun 2014. Sehingga menurut kami, harga saham Telkom saat ini sudah tergolong diskon (murah) dan layak untuk dikoleksi. Apakah nanti saham Telkom dapat turun lebih rendah lagi? Kemungkinan itu dapat saja terjadi, karena saham Telkom sendiri sempat menyentuh harga Rp 2.620 pada 19 Maret 2020. Jadi langkah yang bijak ketika hendak membeli saham Telkom adalah dengan membeli secara bertahap dengan interval harga antar pembelian sekitar 3-5%, karena pasar masih berada pada sentiment panik jual karena dampak penyebaran virus corona masih belum dapat teratasi di beberapa negara termasuk Indonesia.
Pada akhirnya, keputusan beli tetap di tangan pembaca Tagar, dalam hal ini kami hanya menyampaikan analisa kami terhadap saham Telkom ini dengan tujuan edukasi dan berbagi informasi.
Tulisan ini juga sudah di rilis di tagar.id
Yossy Girsang
Founder & CEO YG Strategic