Raksasa Otomotif Jerman di Tengah Badai Antara Menyelamatkan Tradisi dan Tuntutan Era Listrik

Last modified date

Industri otomotif Jerman, sebuah pilar yang selama puluhan tahun menopang kekuatan ekonomi negara, kini berada di persimpangan jalan yang genting. Di tengah desakan global untuk beralih ke kendaraan ramah lingkungan, raksasa-raksasa seperti Volkswagen, BMW, dan Mercedes-Benz menghadapi apa yang disebut sebagai krisis eksistensial. Puncaknya, seperti dilaporkan DW News pada 10 Oktober 2025, pemerintah Jerman kini secara aktif melobi Uni Eropa untuk melonggarkan rencana larangan total penjualan mobil bermesin pembakaran internal (ICE) pada tahun 2035, sebuah langkah yang menyoroti betapa dalamnya dilema yang mereka hadapi.

Dilema Sang Raksasa: Beratnya Langkah Menuju Elektrifikasi

Menurut Andreas Hammon dari St. Gallen University, permintaan untuk waktu transisi tambahan ini bukanlah tanpa alasan. Mesin pembakaran bukan hanya sekadar produk, melainkan DNA dan keunggulan kompetitif utama yang telah dibangun industri Jerman selama satu abad. Transformasi menuju kendaraan listrik baterai (BEV) bukan sekadar mengganti mesin, tetapi merombak total sebuah ekosistem yang melibatkan ribuan perusahaan pemasok dan jutaan tenaga kerja.

Tantangan yang dihadapi pun berlapis-lapis:

  • Kehilangan Dominasi Pasar. Di Tiongkok, pasar otomotif terbesar di dunia, produsen Jerman telah kehilangan pangsa pasar secara signifikan. Ironisnya, merek-merek Tiongkok yang kini mendominasi pasar mobil listrik di negaranya sendiri mulai berekspansi secara agresif ke pasar Eropa, menciptakan tekanan dari dua arah.
  • Guncangan Rantai Pasok. Perbedaan kompleksitas antara mesin konvensional dan motor listrik sangatlah drastis. Sebuah mesin pembakaran internal bisa memiliki hingga 2.500 komponen, sementara motor listrik hanya sekitar 200. Ini berarti ribuan perusahaan pemasok komponen di Jerman, yang bisnisnya bergantung pada produksi piston, busi, dan sistem pembuangan, harus segera menemukan model bisnis baru atau berisiko gulung tikar.
  • Keraguan Konsumen Eropa. Berbeda dengan di Tiongkok, konsumen di Eropa, khususnya di Jerman, masih menunjukkan skeptisisme yang tinggi terhadap mobil listrik. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya infrastruktur stasiun pengisian daya yang memadai. Selain itu, Hammon menilai produsen Jerman melakukan kesalahan strategi awal dengan menargetkan segmen pelanggan paling konservatif untuk produk-produk listrik premium mereka, sehingga adopsi berjalan lebih lambat.

Jembatan Transisi atau Jalan Memutar?

Sebagai solusi jangka pendek, pemerintah Jerman mengusulkan agar teknologi jembatan seperti kendaraan hibrida dan bahan bakar sintetis (e-fuel) tetap diizinkan setelah 2035. E-fuel adalah bahan bakar cair yang diproduksi menggunakan listrik terbarukan untuk menangkap karbon dari atmosfer.

Namun, solusi ini bukannya tanpa masalah. Para ahli, termasuk Hammon, memandang e-fuel sebagai teknologi yang sangat boros energi untuk diproduksi dan biayanya terlalu mahal untuk diadopsi secara massal. Teknologi ini mungkin lebih cocok untuk aplikasi khusus seperti mobil balap atau industri penerbangan yang sulit menggunakan baterai. Kekhawatiran terbesarnya adalah usulan kompromi ini justru akan menjadi alasan untuk memperlambat transformasi penuh ke BEV, membuat Jerman semakin tertinggal dalam perlombaan global.

Masa Depan Listrik yang Tak Terhindarkan

Meskipun menghadapi berbagai rintangan, para analis setuju bahwa masa depan industri otomotif adalah listrik. Andreas Hammon tetap yakin bahwa BEV pada akhirnya akan mendominasi pasar. Alasan utamanya adalah efisiensi teknologi yang lebih superior dan prospek penurunan harga baterai dalam jangka panjang seiring dengan meningkatnya skala produksi. Namun, masa depan cerah ini hanya bisa tercapai jika ada komitmen penuh dari pemerintah dan industri untuk secara agresif membangun infrastruktur pengisian daya yang dibutuhkan.

Lebih dari sekadar urusan mobil, krisis ini juga menyoroti tantangan kompetitif yang lebih luas bagi Jerman. Biaya tenaga kerja yang tinggi, regulasi yang ketat, dan standar sosial yang berat menjadi beban bagi semua sektor industri. Krisis di sektor otomotif ini bisa menjadi cerminan dari kebutuhan mendesak bagi Jerman untuk “menciptakan kembali dirinya dari awal” agar tetap kompetitif di panggung dunia.

Pada akhirnya, meskipun masa keemasan industri otomotif Jerman mungkin telah berlalu untuk saat ini, fondasi mereka masih kuat. Dengan keahlian insinyur kelas dunia, krisis ini bisa menjadi cambuk yang diperlukan untuk berinovasi dan beradaptasi. Pertanyaannya bukan lagi apakah mereka akan berubah, tetapi seberapa cepat mereka bisa melakukannya sebelum para pesaing meninggalkan mereka jauh di belakang.

Afditya Imam