Ilmu Investasi Saham yang Jarang Diketahui Investor Retail
Banyak investor ritel (kayak kita-kita ini) masuk ke pasar saham karena tergiur cuan. Tapi sayangnya, banyak yang cuma tahu ilmu permukaan: “beli saat murah, jual saat mahal”, “ikut rekomendasi influencer”, atau “pantau grafik terus-terusan”. Padahal, di balik layar, ada ilmu-ilmu penting yang sering banget dilewatkan.
Yuk bongkar bareng!
1. “Narrative Bias” Lebih Bahaya dari Volatilitas
Investor ritel sering terjebak pada cerita. Misalnya:
“Saham A bakalan jadi Tesla-nya Indonesia!”
Padahal, cerita bagus ≠ fundamental bagus. Investor profesional justru skeptis sama narasi bombastis. Mereka lebih fokus ke data, laporan keuangan, dan strategi bisnisnya.
2. Valuasi Bukan Cuma PER & PBV
Ritel biasanya cuma lihat Price to Earnings Ratio (PER) atau Price to Book Value (PBV) buat nilai saham murah atau mahal.
Padahal ada yang lebih canggih:
- Discounted Cash Flow (DCF)
- EV/EBITDA
-
PEG Ratio (PER dibagi growth)
Metode ini dipakai fund manager buat lihat real value perusahaan.
3. Institutional Ownership Bisa Jadi Sinyal
Kalau banyak institusi gede (kayak reksa dana, dana pensiun, atau investor asing) masuk ke saham tertentu, itu sering jadi tanda sahamnya layak dilirik.
Investor ritel jarang ngelirik data ini, padahal bisa dilihat gratis di laporan keuangan atau RTI Business app.
4. Market Maker & “Bandar Saham” Itu Nyata
Pasar saham bukan sepenuhnya murni supply-demand. Kadang ada pihak yang punya kekuatan modal besar yang bisa “ngatur” harga jangka pendek.
Investor institusi tahu cara deteksi pergerakan bandar lewat analisa volume, akumulasi-distribusi, dan bid-offer.
Retail? Sering jadi korban FOMO.
5. Forward Guidance Itu Emas
Banyak ritel cuma lihat kinerja masa lalu. Padahal investor pro lebih fokus ke:
- Proyeksi pertumbuhan 1-3 tahun ke depan
- Panduan dari manajemen (guidance)
- Sektor yang disiapkan pemerintah (insentif, subsidi, dll)
Mereka investasi di masa depan, bukan masa lalu.
6. Behavioral Finance: Ilmu Psikologi di Balik Market
Saham itu bukan cuma soal angka, tapi juga emosi.
Investor institusi belajar:
- Gimana market bereaksi terhadap berita buruk
- Pola panic selling atau euforia
- Psikologi crowd di social media
Retail sering terjebak FOMO dan fear, tanpa sadar.
7. Dividend Trap dan Value Trap
Saham dividen tinggi belum tentu sehat. Bisa jadi:
- Bisnisnya stagnan
- Nggak punya rencana ekspansi
- Cuma “rayuan” biar investor tahan saham
Begitu juga saham murah belum tentu undervalued. Bisa aja memang perusahaannya lagi sekarat alias value trap.
💡 Kesimpulan: Upgrade Ilmu, Upgrade Cuan
Kalau kamu pengin jadi investor yang nggak cuma ikut-ikutan tapi benar-benar tahu apa yang kamu beli, mulai pelajari:
✅ Ilmu valuasi lanjutan
✅ Psikologi pasar
✅ Analisa makro & sektor
✅ Manajemen risiko
Karena di dunia saham, yang pintar riset dan sabar biasanya yang tahan lama dan menang besar.