China Larang Konten Flexing, Apa Alasannya?

Last modified date

Pemerintah China kini melarang keras konten “flexing” atau pamer kemewahan di media sosial, dan alasannya sebenarnya cukup masuk akal jika dilihat dari sudut pandang sosial dan ekonomi negara itu. Intinya, kebijakan ini dibuat untuk menjaga moral publik dan menekan budaya pamer yang dianggap merusak nilai-nilai masyarakat.

Larangan ini muncul karena pemerintah menilai konten seperti pamer mobil mewah, tas branded, atau makan di restoran super mahal bisa menanamkan nilai-nilai materialistis, terutama di kalangan anak muda. Banyak remaja jadi berpikir bahwa kesuksesan hanya diukur dari harta dan gaya hidup, bukan kerja keras atau pendidikan. Melalui kampanye “Clear and Bright” yang digerakkan oleh badan pengawas internet China (CAC), pemerintah ingin membersihkan dunia maya dari pengaruh yang dianggap negatif dan mendorong orang untuk hidup lebih sederhana dan produktif.

Selain itu, konten pamer kekayaan juga dianggap memperlebar kesenjangan sosial. Ketika masyarakat sedang berjuang karena kondisi ekonomi yang sulit seperti pertumbuhan ekonomi yang melambat dan banyaknya pengangguran muda, melihat orang lain memamerkan kemewahan bisa memicu rasa iri, frustasi, bahkan marah. Karena itu, platform seperti Weibo sudah mulai menindak akun-akun yang dianggap menonjolkan gaya hidup glamor dan merendahkan mereka yang hidup sederhana.

Ada juga alasan moral dan keamanan. Pemerintah takut generasi muda tumbuh dengan mental “instan pengen kaya cepat” tanpa proses. Fenomena flexing dianggap bisa mendorong kejahatan seperti penipuan, investasi bodong, atau gaya hidup konsumtif yang berujung pada utang. Maka tak heran kalau sejumlah influencer terkenal seperti Wang Hongquan dan “Sister Abalone” sudah diblokir karena terlalu sering pamer barang mewah.

Intinya, larangan ini bukan sekadar soal membatasi kebebasan berekspresi, tapi bagian dari upaya besar pemerintah China untuk membentuk citra masyarakat yang lebih rendah hati, realistis, dan fokus pada kerja keras di tengah tekanan ekonomi. Pemerintah ingin memastikan internet diisi oleh konten yang “mendidik”, bukan sekadar pamer kemewahan yang bisa bikin masyarakat makin terpecah.

Afditya Imam