CEO JP Morgan: Kenapa Eropa Kehilangan Daya Saing

Last modified date

Pernyataan tajam kembali dilontarkan oleh Jamie Dimon, CEO JPMorgan Chase, yang menyebut Eropa telah kehilangan daya saing global akibat birokrasi berlebihan, pajak tinggi, serta mahalnya biaya energi dan hidup. Ucapan itu disampaikan Dimon dalam forum pertahanan nasional bergengsi di Amerika Serikat dan memicu perdebatan lintas benua antara dua model ekonomi yang sangat berbeda.

Dimon menyoroti perbandingan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat dari sisi ukuran nominal. Ia menyebut bahwa pada 1990-an, ekonomi Eropa masih setara hampir 90 persen dari Amerika, namun kini menyusut menjadi sekitar 65 persen bila dihitung dalam dolar AS. Menurutnya, penyebab utama bukan terletak pada etos kerja masyarakat Eropa, melainkan pada kebijakan yang terlalu ketat terhadap dunia usaha, biaya energi yang tinggi, serta regulasi yang dinilai membebani perusahaan untuk tumbuh agresif sebagaimana di Amerika.

Data lembaga internasional menguatkan sebagian klaim tersebut. Berdasarkan rilis gabungan dari World Bank dan IMF per awal 2025, produk domestik bruto nominal Uni Eropa berada di kisaran 19 triliun dolar AS, sedangkan ekonomi Amerika Serikat telah menembus sekitar 29 triliun dolar AS.

Secara matematis, ukuran ekonomi Eropa memang hanya sekitar 65 hingga 66 persen dari Amerika. Namun jika dihitung menggunakan paritas daya beli atau purchasing power parity, yang menyesuaikan perbedaan biaya hidup, jarak tersebut menyempit drastis. Dalam ukuran PPP, ekonomi Eropa masih berada di sekitar 95 persen dari Amerika Serikat, menunjukkan bahwa daya beli masyarakatnya tidak tertinggal sejauh gambaran angka nominal.

Gelombang respons dari warga Eropa pun mengalir deras di media sosial. Banyak yang justru membalik logika “kalah saing” yang dikemukakan Dimon. Bagi mereka, ukuran keberhasilan ekonomi bukan semata pertumbuhan kapitalisasi pasar dan dominasi perusahaan teknologi raksasa, melainkan kualitas hidup warganya.

Mereka menyebut cuti melahirkan hingga satu tahun dengan gaji tetap, libur tahunan panjang, sistem kesehatan universal dengan biaya sangat murah, serta jam kerja yang lebih manusiawi sebagai “harga” yang mereka pilih meski pertumbuhan ekonomi terlihat lebih lambat.

Sejumlah pengguna juga membandingkan angka harapan hidup. Rata-rata warga Eropa kini hidup hingga sekitar 81 tahun, sementara di Amerika Serikat berada di kisaran 77 tahun.

Ketimpangan ekonomi pun relatif lebih rendah di Eropa, dengan indeks Gini di sekitar 30, jauh di bawah Amerika yang berada di atas 40. Bagi banyak warga Eropa, stabilitas sosial, jaminan kesehatan, serta keseimbangan hidup justru dipandang sebagai bentuk kemenangan tersendiri yang tidak tercermin dalam grafik GDP.

Di sisi lain, kubu pendukung Dimon menekankan bahwa kekuatan Amerika saat ini bukan hanya soal ukuran ekonomi, tetapi tentang arah masa depan. Delapan dari sepuluh perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar dunia saat ini berbasis di Amerika Serikat, terutama di sektor teknologi, kecerdasan buatan, semikonduktor, dan keuangan digital. Perusahaan-perusahaan inilah yang mendorong lompatan produktivitas, inovasi, serta aliran modal global, sesuatu yang dinilai semakin sulit ditandingi oleh Eropa di tengah regulasi yang ketat dan biaya energi yang melonjak sejak krisis geopolitik beberapa tahun terakhir.

Perdebatan ini memperlihatkan benturan dua filosofi besar dalam pembangunan ekonomi global. Model Amerika menekankan fleksibilitas pasar, agresivitas inovasi, dan pertumbuhan cepat meski dibarengi ketimpangan yang tinggi. Sementara model Eropa lebih menekankan perlindungan sosial, keseimbangan hidup, dan pemerataan meski harus menerima laju pertumbuhan yang lebih moderat.

Ucapan Jamie Dimon pada akhirnya tidak hanya memantik diskusi tentang siapa yang “menang” atau “kalah”, tetapi juga membuka kembali pertanyaan mendasar: apakah tujuan akhir sebuah ekonomi adalah sebesar-besarnya angka GDP, atau sebesar-besarnya kualitas hidup manusia yang ada di dalamnya.

Afditya Imam