Kode Keras The Fed, Akankah Krisis Keuangan Bisa Terjadi lagi?

Last modified date

Presiden The Fed wilayah Atlanta, Raphael Bostic baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang menyebut bahwa kenaikan suku bunga yang agresif hampir pasti akan terjadi sebab inflasi di AS terus menanjak.

Hal ini dianggap dapat mengakibatkan masalah yang lebih besar lagi ditambah pandemi Covid-19 yang belum usai dan perang Rusia dan Ukraina.

Pada Kamis pekan lalu, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% – 1,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak tahun 1994.

nflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS saat ini mencapai 8,6% year-on-year (yoy), tertinggi dalam 41 tahun terakhir.

Berdasarkan Fed Dot Plot yang dirilis setiap akhir kuartal, mayoritas anggota komite pembuat kebijakan moneter (FOMC) The Fed melihat suku bunga di akhir tahun berada di 3,4% atau di rentang 3,25% – 3,5%.

Artinya, di akhir tahun suku bunga tersebut akan lebih tinggi dari level yang dianggap netral 2,5% – 2,75%. Suku bunga netral artinya tidak memacu perekonomian, tidak juga memicu pelambatan ekonomi.

Semakin jauh suku bunga di atas netral, risiko pelambatan ekonomi hingga resesi menjadi semakin meningkat.

Apalagi, sinyal Amerika Serikat akan kembali mengalami resesi sudah muncul dari inversi imbal hasil (yield) obligasi AS (Treasury).

Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun, meski hanya berlangsung sesaat. Dalam kondisi normal, yield tenor lebih panjang akan lebih tinggi, ketika inversi terjadi posisinya terbalik.

Sebelumnya inversi juga terjadi di bulan April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Amerika Serikat.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Setelah rilis riset tersebut, inversi yield terjadi lagi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Afditya Imam