Ray Dalio Peringatkan, Langkah The Fed Bisa Picu Lonjakan Aset dan Ledakan Inflasi

Last modified date

Ray Dalio, investor legendaris pendiri Bridgewater Associates, baru-baru ini mengingatkan publik soal kebijakan baru bank sentral Amerika (Federal Reserve) yang bakal mulai “melonggarkan keran uang” mulai 1 Desember 2025. Artinya, The Fed akan berhenti mengurangi jumlah uang beredar (yang disebut quantitative tightening) dan malah mulai menambahnya lagi istilahnya quantitative easing versi ringan.

Menurut Dalio, langkah ini mirip seperti memberi suntikan energi ke ekonomi, tapi dilakukan di waktu yang salah. Biasanya, kebijakan ini dilakukan saat ekonomi lesu, pasar saham jatuh, dan banyak perusahaan kesulitan dapat pinjaman. Sekarang justru kebalikannya, ekonomi Amerika masih kuat, pengangguran rendah (sekitar 4%), dan inflasi masih agak tinggi (sekitar 3%).

Jadi, kata Dalio, kebijakan ini seperti menyalakan api di tungku yang sudah panas, bisa bikin “gelembung” harga aset makin besar, terutama di sektor saham teknologi dan AI yang saat ini sudah melonjak tinggi.

Dalio juga menyinggung soal utang pemerintah AS yang sudah sangat besar. Kalau The Fed mulai membeli obligasi lagi, maka secara tidak langsung utang itu seperti “dicetak ulang jadi uang baru”. Ini memang bisa membantu jangka pendek, tapi berisiko membuat harga-harga naik lagi di masa depan. Akibatnya, orang yang punya banyak aset seperti saham dan properti akan makin kaya karena nilainya ikut naik, sementara masyarakat biasa justru terbebani kenaikan harga barang.

Dalam bukunya How Countries Go Broke: The Big Cycle, Dalio menjelaskan bahwa langkah seperti ini bisa memicu siklus klasik: uang beredar naik → bunga riil turun → harga aset (emas, saham) naik → inflasi datang belakangan.

Ia memberi contoh sederhana: kalau inflasi tembus 4%, sedangkan bunga obligasi cuma 4%, maka investor akan lebih memilih emas karena nilainya cenderung naik saat uang kehilangan daya beli.

Dalio menyatakan bahwa kebijakan The Fed kali ini berpotensi membuat pasar naik tajam dalam jangka pendek disebutnya “melt-up”, tapi juga bisa berujung pada koreksi besar atau “pecahnya gelembung” kalau bank sentral nanti terpaksa menekan lagi inflasi. Ia mengingatkan bahwa Amerika sedang bermain api, memberi stimulus di saat ekonomi masih panas bisa membuat sistem keuangan terlalu “bersemangat” dan akhirnya tidak stabil.

Afditya Imam