Ledakan AI dan Kegelisahan Manusia, Ketika Inovasi Beradu dengan Realitas Sosial

Last modified date

Ledakan teknologi kecerdasan buatan (AI) sedang mengubah dunia dengan cepat, tapi di balik semua euforia itu muncul masalah besar. Banyak orang mulai khawatir tentang dampaknya terhadap pekerjaan, lingkungan, dan kehidupan sosial. Kondisi ini disebut sebagai krisis PR bagi AI artinya, citra AI di mata publik sedang bermasalah karena orang lebih takut daripada antusias.

Kekhawatiran Publik, Antara Harapan dan Kecemasan

Ada tiga hal utama yang membuat orang cemas soal AI. Pertama, soal kehilangan pekerjaan. Banyak yang takut pekerjaan mereka akan digantikan mesin. Ini bukan cuma ketakutan tanpa dasar. Sekarang saja, di bidang layanan pelanggan, input data, bahkan desain dan penulisan, sudah mulai terasa dampaknya. Masalahnya, kemampuan AI untuk menggantikan manusia berjalan jauh lebih cepat daripada kemampuan masyarakat menciptakan lapangan kerja baru atau melatih orang dengan keterampilan yang dibutuhkan.

Kedua, masalah energi dan lingkungan. AI butuh daya komputer yang sangat besar, dan itu artinya butuh listrik dalam jumlah masif. Pusat data (data center) yang menjalankan AI menggunakan energi yang sangat banyak. Laporan lembaga seperti International Energy Agency (IEA) memprediksi penggunaan listrik untuk pusat data akan melonjak tajam beberapa tahun ke depan. Dampaknya, biaya listrik bisa naik bagi warga sekitar, dan kalau listriknya masih bergantung pada bahan bakar fosil, maka emisi karbon juga akan meningkat. Jadi, di satu sisi teknologi ini maju, tapi di sisi lain bumi kita ikut terbebani.

Ketiga, penolakan dari masyarakat lokal. Banyak proyek pusat data besar milik Google, Microsoft, dan Amazon mendapat perlawanan dari warga sekitar. Alasannya, mereka merasa tidak mendapat manfaat apa pun, padahal harus menanggung polusi suara, konsumsi air yang tinggi untuk pendinginan, dan kemacetan akibat konstruksi. Setelah pusat data jadi, pekerjaan yang tersedia juga tidak banyak, jadi masyarakat merasa dirugikan.

Pertumbuhan Ekonomi vs Realitas Sosial

Meski begitu, banyak pihak masih percaya AI akan menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi dunia. Misalnya, ekonom seperti David Sachs mengatakan bahwa AI bisa mendorong pertumbuhan PDB global hingga 3,8%. AI dianggap mampu meningkatkan efisiensi, menciptakan produk baru, dan mempercepat proses bisnis. Sejarah pun menunjukkan hal serupa dulu mesin uap, komputer, dan internet juga sempat membuat orang kehilangan pekerjaan, tapi akhirnya melahirkan industri baru dan jutaan pekerjaan lain.

Para pendukung AI yakin hal yang sama akan terjadi lagi. Pekerjaan akan bergeser dari tugas-tugas rutin menjadi pekerjaan yang lebih kreatif dan strategis hal-hal yang masih sulit digantikan oleh mesin.

Kolaborasi Manusia dan AI, Bukan Persaingan, Tapi Kemitraan

Para ahli kini banyak bicara tentang konsep kerja sama antara manusia dan AI. Alih-alih “manusia vs mesin,” arah baru yang diinginkan adalah “manusia + mesin.” AI akan mengurus tugas-tugas yang berat, berulang, atau butuh pemrosesan data besar misalnya menganalisis ribuan dokumen, menyaring data penelitian, atau menulis kode awal untuk program. Lalu manusia tetap berperan dalam hal yang membutuhkan pemahaman, emosi, dan penilaian kritis, seperti memberi arahan, mengevaluasi hasil, serta membuat keputusan akhir.

Dengan cara ini, AI menjadi semacam co-pilot atau asisten cerdas yang membantu manusia bekerja lebih cepat dan lebih efisien, bukan menggantikan mereka sepenuhnya.

Tantangan ke Depan, AI Harus Lebih Manusiawi

Agar teknologi ini benar-benar diterima masyarakat, perusahaan AI perlu membangun narasi yang lebih manusiawi dan bertanggung jawab. Mereka harus bisa menjelaskan manfaat AI dengan bahasa sederhana, bukan jargon teknis. Mereka juga harus serius menangani masalah nyata seperti konsumsi energi, pelatihan ulang tenaga kerja, dan keterlibatan komunitas lokal.

AI bisa menjadi berkah besar bagi manusia, tapi hanya jika dikembangkan dengan empati dan tanggung jawab. Masa depan teknologi ini bukan hanya soal kemampuan algoritmanya, tapi tentang apakah manusia percaya dan merasa diuntungkan oleh kehadirannya.

Afditya Imam