Krisis Porsche, Saat Mimpi Mobil Listrik Berubah Jadi Mimpi Buruk

Last modified date

Porsche, pembuat mobil sport mewah asal Jerman, kini sedang menghadapi salah satu krisis terbesar dalam sejarahnya. Selama bertahun-tahun, Porsche dikenal sebagai simbol presisi, kecepatan, dan keberhasilan finansial. Namun, ambisi besar mereka untuk beralih ke mobil listrik (EV) kini justru menjadi bumerang. Awalnya, Porsche percaya bahwa masa depan otomotif sepenuhnya akan dikuasai kendaraan listrik. Mereka menginvestasikan miliaran euro untuk mengembangkan lini mobil listrik, termasuk proyek ambisius bernama Mission R. Namun realitas pasar berkata lain. Konsumen ternyata belum sepenuhnya siap meninggalkan mesin bensin, terutama untuk mobil sport kelas atas. Akibatnya, strategi agresif Porsche berakhir dengan kerugian besar yang mengguncang keuangan perusahaan.

Dalam laporan keuangan terakhir, Porsche mengalami penurunan laba hingga 96 persen, dan bahkan mencatat kerugian hampir satu miliar euro atau sekitar 17 triliun rupiah hanya dalam satu kuartal. Model-model yang masih laku di pasaran justru mobil SUV seperti Cayenne dan Macan, yang margin keuntungannya jauh lebih kecil dibanding mobil sport andalan mereka. Sementara itu, mobil listrik seperti Taycan tidak mampu mencapai target penjualan yang diharapkan. Masalah ini semakin parah karena biaya perubahan strategi sangat besar. Ketika Porsche memutuskan menunda dan bahkan membatalkan beberapa proyek EV, mereka harus menanggung kompensasi, membayar denda, serta menutup investasi yang sudah berjalan. Induk perusahaannya, Volkswagen Group, bahkan harus menalangi hingga lima miliar euro atau sekitar 85 triliun rupiah untuk menutupi kerugian tersebut.

Krisis ini semakin diperparah oleh penurunan penjualan di China, yang selama ini menjadi pasar utama Porsche. Ekonomi China yang sedang lesu membuat konsumen menahan diri dari pembelian barang mewah, termasuk mobil sport. Selain itu, Porsche kini menghadapi tekanan berat dari pabrikan mobil listrik lokal seperti BYD, NIO, dan Li Auto yang menawarkan teknologi canggih dengan harga lebih kompetitif. Akibatnya, penjualan Porsche di China merosot sekitar 25 persen dalam setahun terakhir. Situasi ini membuat Porsche terpaksa menunda peluncuran mobil listrik baru, memperpanjang produksi mobil bensin dan hybrid, serta membatalkan rencana membangun pabrik baterai sendiri.

Masalah Porsche sebenarnya mencerminkan krisis yang lebih luas di industri otomotif Jerman. Negara yang selama ini menjadi kebanggaan dunia dalam hal teknologi kendaraan kini terguncang menghadapi transisi menuju era kendaraan listrik. Uni Eropa telah menargetkan bahwa mulai tahun 2035, semua mobil baru harus menggunakan tenaga listrik. Namun Porsche menjadi perusahaan besar pertama yang secara terbuka mengakui bahwa mereka tidak akan sanggup memenuhi target ambisius tersebut. Dampaknya mulai terasa di seluruh Jerman sekitar 50 ribu pekerja industri otomotif kehilangan pekerjaan dalam satu tahun terakhir, sementara banyak kota yang bergantung pada industri mobil mengalami penurunan pendapatan pajak dan harus memangkas layanan publik.

Porsche terlalu cepat “ngebut” dalam mengejar tren mobil listrik tanpa membaca kondisi pasar dengan matang. Mereka percaya dunia akan langsung beralih ke kendaraan listrik, padahal infrastruktur belum siap dan konsumen masih ragu. Kini, perusahaan harus menanggung konsekuensi besar dari keputusan itu kerugian triliunan rupiah, reputasi yang goyah, dan bayang-bayang PHK besar-besaran. Kasus Porsche menjadi pelajaran penting bagi industri otomotif global, inovasi memang penting, tetapi tanpa perhitungan yang realistis, bahkan raksasa sekelas Porsche pun bisa tergelincir di tikungan perubahan zaman.

Afditya Imam