Ex-CEO Goldman Sach, Bayang-Bayang Krisis 2008

Last modified date

Lloyd Blankfein, mantan CEO dan pimpinan Goldman Sachs, dari tahun 2006 sampai 2018, termasuk saat terjadi krisis keuangan besar pada 2008.

Lloyd Blankfein punya perjalanan karier yang tidak biasa. Ia lahir dan besar di lingkungan kelas pekerja di Bronx, New York, dan jadi orang pertama di keluarganya yang kuliah. Ia menempuh pendidikan di Harvard College dan Harvard Law School. Awalnya, Blankfein bekerja sebagai pengacara pajak, tapi kemudian ia pindah ke dunia keuangan dan menjadi trader logam mulia di perusahaan Jay Aaron, yang akhirnya dibeli oleh Goldman Sachs. Ia menggambarkan perjalanan kariernya bukan sebagai jalan lurus, melainkan “jalur zigzag” yang banyak diwarnai keberuntungan dan kebetulan.

Dalam satu wawancara oleh Harvard Business School, saat membahas krisis keuangan 2008, Lloyd Blankfein menjelaskan bahwa akar masalahnya berasal dari periode panjang ketika uang sangat mudah dipinjam karena suku bunga terlalu rendah. Kondisi ini membuat banyak orang, perusahaan, bahkan lembaga keuangan besar menjadi terlalu berani mengambil risiko. Mereka berinvestasi secara serampangan di sektor properti dan kredit rumah tanpa memikirkan kemungkinan terburuk. Ketika gelembung harga rumah pecah, sistem keuangan dunia pun ikut runtuh. Blankfein menegaskan bahwa sebagian besar pelaku industri keuangan tidak bertindak jahat dengan sengaja. Ia menyebut, “kebodohan bukanlah kejahatan,” yang maksudnya, banyak orang di sektor ini sebenarnya hanya salah perhitungan, bukan berniat menipu atau mencuri.

Bagi Blankfein sendiri, masa itu sangat berat. Ia menggambarkan setiap hari seperti “bangun untuk berperang,” karena tekanan datang dari semua arah pemerintah, media, investor, hingga masyarakat umum. Goldman Sachs memang berhasil bertahan, tetapi perusahaan itu harus menghadapi krisis baru, kehilangan kepercayaan publik. Banyak orang melihat Goldman sebagai simbol keserakahan Wall Street, padahal di dalamnya juga ada orang-orang yang ketakutan kehilangan segalanya. Bagi Blankfein, masa setelah krisis bukan hanya tentang memperbaiki keuangan perusahaan, tapi juga tentang memulihkan reputasi dan membuktikan bahwa dunia keuangan bisa belajar dari kesalahan masa lalu.

Blankfein mengakui bahwa memulihkan kepercayaan publik jauh lebih sulit daripada memperbaiki neraca keuangan. Setelah krisis, Goldman Sachs menjadi sasaran kemarahan masyarakat yang merasa dirugikan oleh perilaku rakus para bankir di Wall Street. Banyak orang kehilangan rumah, pekerjaan, dan tabungan, sementara lembaga keuangan besar justru diselamatkan oleh dana talangan pemerintah. Situasi ini membuat masyarakat merasa sistem ekonomi tidak adil. Blankfein mengaku harus menghadapi kenyataan pahit bahwa meskipun perusahaan berhasil bertahan secara finansial, citra moralnya hancur di mata publik.

Menurutnya menjadi pemimpin saat badai seperti itu bukan hanya soal membuat keputusan finansial yang tepat, tetapi juga soal bertanggung jawab atas dampak sosial yang ditimbulkan. Ia menyadari banyak pihak yang menderita akibat krisis, dan hal itu meninggalkan luka mendalam bagi reputasi seluruh industri keuangan. Meski begitu, ia percaya penting untuk terus memperbaiki sistem agar kesalahan serupa tidak terulang lagi. Menurutnya, krisis 2008 menjadi pengingat bahwa ekonomi modern sangat rapuh jika digerakkan oleh keserakahan dan ketidakhati-hatian, dan bahwa setiap pemimpin keuangan harus memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar terhadap masyarakat luas, bukan hanya kepada pemegang saham.

Setelah krisis 2008 berlalu, Blankfein menggambarkan masa pemulihan itu sebagai periode yang panjang dan melelahkan, bukan hanya bagi Goldman Sachs, tetapi bagi seluruh dunia keuangan. Ia menyadari bahwa krisis tersebut meninggalkan luka yang dalam bukan sekadar kerugian uang, tetapi hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem ekonomi global. Banyak orang merasa dikhianati oleh institusi yang selama ini dianggap pilar stabilitas. Bagi Blankfein, tantangan terbesarnya bukan lagi tentang memulihkan angka di laporan keuangan, melainkan mengembalikan keyakinan publik bahwa bank seperti Goldman Sachs masih memiliki peran positif dalam perekonomian.

Ia juga mengakui bahwa krisis tersebut membuat banyak orang lebih waspada terhadap keserakahan dan sistem yang terlalu bergantung pada utang. Menurutnya, keuangan modern adalah dunia yang kompleks kadang terlalu rumit bahkan bagi para ahli sekalipun. Karena itu, ia menekankan pentingnya transparansi dan regulasi yang lebih kuat untuk mencegah bencana serupa terulang. Namun, ia juga menambahkan bahwa regulasi yang berlebihan bisa mengekang inovasi, sehingga dibutuhkan keseimbangan antara kebebasan pasar dan pengawasan yang ketat.

Afditya Imam