Trading Perpetual Kripto, Mengapa Instrumen Ini Tidak Cocok untuk Semua Orang

Last modified date

Di tengah euforia pasar kripto yang terus bergeak cepat, kontrak perpetual (perpetual futures) menjadi salah satu produk derivatif paling populer di beberapa bursa exchange kripto.

Produk ini memungkinkan trader membuka posisi long atau short tanpa tanggal kadaluarsa dengan leverage hingga ratusan kali lipat.

Namun, di balik potensi keuntungan besar yang sering dipamerkan influencer, data dan fakta menunjukkan bahwa trading perpetual justru menjadi “pembunuh senyap” bagi sebagian besar trader ritel.


1.⁠ ⁠Risiko Likuidasi yang Sangat Tinggi

Berbeda dengan spot trading, posisi perpetual bisa dilikuidasi total jika harga bergerak berlawanan meski hanya beberapa persen.

Dengan leverage 50x–125x yang sering digunakan trader pemula, pergerakan harga 1–2 % saja sudah cukup untuk menghapus seluruh modal (margin).


Menurut data BitMEX dan Bybit sepanjang 2024–2025, lebih dari 80 % akun yang menggunakan leverage di atas 20x mengalami likuidasi setidaknya sekali dalam 30 hari pertama. Banyak trader yang mengaku “hanya rugi 10 %” sebenarnya kehilangan 100 % modal karena posisi ditutup paksa oleh bursa.

2.⁠ ⁠Funding Rate yang Bisa Menggerogoti Profit

Kontrak perpetual menggunakan mekanisme funding rate agar harga kontrak tetap mendekati harga spot. Ketika pasar sangat bullish atau bearish dalam jangka panjang, salah satu sisi (long atau short) harus membayar pihak lainnya setiap 8 jam.

Pada Mei–Juli 2025 saat Bitcoin mengalami ranging panjang di kisaran $90.000–$110.000, banyak trader long harus membayar funding rate hingga 0,15 %–0,3 % per hari atau setara 50–100 % per tahun. Akibatnya, meski harga tidak banyak bergerak, posisi mereka tetap rugi perlahan.

3.⁠ ⁠Volatilitas Ekstrem dan Manipulasi Pasar

Pasar perpetual rentan terhadap “liquidation cascade” dan serangan whale. Ketika harga turun atau naik tajam dalam waktu singkat, stop-loss dan likuidasi massal menciptakan efek domino yang memperburuk pergerakan harga.

Contoh nyata terjadi pada 12 Agustus 2025 ketika Bitcoin turun 18% dalam 4 jam. Total likuidasi di seluruh bursa mencapai $2,8 miliar dalam sehari, mayoritas dari trader ritel yang menggunakan leverage tinggi.


4.⁠ ⁠Faktor Psikologi yang Sulit Dikendalikan

Trading perpetual menuntut disiplin ekstrem, manajemen risiko ketat, dan kemampuan membaca order book secara real-time. Banyak trader yang awalnya hanya ingin “coba-coba” akhirnya terjebak FOMO (fear of missing out) atau revenge trading setelah mengalami likuidasi.

Survei yang dilakukan Crypto Research Institute pada September 2025 terhadap 12.000 trader Indonesia menunjukkan: 72 % trader perpetual ritel mengalami kerugian bersih dalam 12 bulan terakhir, 58 % mengaku pernah menggunakan leverage di atas 50x, dan 41 % mengalami gangguan tidur dan stres berat akibat trading

5.⁠ ⁠Tidak Ada Kepemilikan Aset Sebenarnya

Berbeda dengan membeli kripto di spot wallet, posisi perpetual tidak memberikan kepemilikan aset. Ketika akun dilikuidasi, trader benar-benar kehilangan segalanya tanpa menyisakan aset kripto apapun.

Siapa yang Sebenarnya Cocok Trading Perpetual?
Hanya segelintir trader profesional, hedge fund, atau market maker yang memiliki:

  • Modal besar untuk menahan drawdown
  • Sistem trading otomatis (bot) yang teruji
  • Akses data order book dan funding rate real-time
  • Kemampuan manajemen risiko institusional

Bagi investor biasa, trader pemula, atau orang yang menggunakan “uang dapur”, produk ini terlalu berbahaya.

Trading perpetual kripto bukanlah jalan pintas menuju kaya, melainkan arena berisiko tinggi yang dirancang untuk trader berpengalaman dengan modal kuat.

Bagi mayoritas masyarakat, membeli dan menyimpan aset kripto di spot wallet atau bahkan staking tetap menjadi pilihan yang jauh lebih aman dan masuk akal.

“Kalau kamu masih takut rugi 5–10 %, jangan pernah sentuh leverage 20x ke atas. Perpetual itu seperti bermain poker dengan taruhan nyawa.”

Afditya Imam