Sisi Gelap Private Equity
Selama bertahun-tahun, industri private equity atau PE dikenal sebagai dunia investasi kelas atas, tempat uang besar berputar dan keuntungan luar biasa dihasilkan. Banyak orang percaya bahwa perusahaan PE adalah “penyelamat” yang mampu menghidupkan kembali bisnis yang hampir mati, memperbaikinya, lalu menjualnya dengan untung besar.
Tapi laporan investigasi Business Insider berjudul “You’re Being Lied To About Private Equity” membongkar sisi gelap di balik citra glamor tersebut.
Di balik istilah keuangan yang rumit, sebenarnya bisnis PE sederhana, mereka membeli perusahaan dengan menggunakan utang besar, mempercantik laporan keuangannya untuk sementara, lalu menjualnya dengan harga lebih tinggi.
Masalahnya, utang besar itu bukan mereka yang bayar, melainkan perusahaan yang mereka beli. Akibatnya, banyak perusahaan yang awalnya sehat justru kolaps setelah diambil alih.
Contohnya, Toys R Us yang dulu jadi toko mainan legendaris, akhirnya bangkrut karena tak sanggup menanggung utang hasil pembelian oleh perusahaan PE.
Lalu, bagaimana PE bisa tetap untung meski perusahaannya bangkrut? Jawabannya ada di biaya dan trik keuangan. Mereka mengenakan berbagai fees (biaya manajemen) kepada investor dan perusahaan yang mereka beli. Ada juga taktik bernama dividend recapitalization, di mana perusahaan dipaksa meminjam uang baru hanya untuk membayar “bonus” besar kepada perusahaan PE.
Bahkan, ada praktik sale-leaseback, aset seperti gedung dijual, lalu disewa kembali dengan harga mahal. Hasilnya, perusahaan mendapat uang tunai sementara, tapi jadi punya beban sewa berat setiap bulan. Praktik semacam ini bukan cuma soal angka di laporan keuangan. Dampaknya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat.
Di sektor kesehatan misalnya, panti jompo dan rumah sakit yang dibeli oleh PE sering kali mengalami penurunan kualitas layanan karena jumlah perawat dikurangi demi menghemat biaya.
Sebuah studi bahkan menemukan bahwa tingkat kematian di panti jompo milik PE meningkat hingga 11%. Dalam beberapa kasus, rumah sakit besar seperti Steward Healthcare harus menutup sejumlah fasilitas karena tak sanggup menanggung utang dan biaya sewa gedung yang dijual oleh pemilik PE.
Ironisnya, industri ini kerap mengklaim bahwa mereka membantu “pahlawan masyarakat” guru, perawat, dan pemadam kebakaran, karena dana pensiun mereka sering diinvestasikan ke PE.
Tapi menurut penelitian dari Harvard dan Oxford, kinerja PE sebenarnya tidak lebih baik dari pasar saham biasa (seperti S&P 500), apalagi setelah biaya besar dan risiko tinggi diperhitungkan. Artinya, banyak pekerja yang menaruh harapan pada investasi ini justru bisa kehilangan sebagian tabungan pensiunnya tanpa sadar.
Kini, setelah kehabisan perusahaan besar untuk dibeli, industri PE mulai mengincar bisnis kecil seperti bengkel, klinik gigi, dan tempat cuci mobil. Mereka juga sedang melobi agar bisa menjual produk investasinya langsung ke investor ritel, orang biasa yang menabung lewat rekening pensiun. Para ahli memperingatkan bahwa langkah ini sangat berbahaya, karena banyak orang mungkin tidak memahami risiko besar di balik janji “keuntungan tinggi.”
Di akhir laporan, Business Insider menegaskan bahwa private equity bukan selalu tentang inovasi atau penyelamatan bisnis, melainkan tentang bagaimana segelintir orang bisa menghasilkan uang dengan cepat, bahkan jika perusahaan dan pekerjanya harus menanggung akibatnya. Mitos tentang “kehebatan PE” mungkin terdengar manis, tapi kenyataannya jauh lebih pahit.
