Revolusi Hak Cipta Digital Melalui Blockchain
Sunung Yun Lee, pendiri Story Protocol, punya ide sederhana tapi revolusioner. Ia ingin membuat sistem hak cipta yang adil dan terbuka dengan bantuan teknologi blockchain. Di dunia sekarang, hak cipta bisa bernilai lebih dari 80 triliun dolar, dari karakter seperti Mickey Mouse hingga lagu-lagu Justin Bieber. Tapi yang menciptakan karya sering kali tidak menikmati hasil sebesar yang seharusnya. Penulis Squid Game, misalnya, hanya menerima sedikit bayaran, sementara Netflix meraup keuntungan besar dari serial tersebut. Selain itu, sistem hak cipta sangat rumit dan tertutup, membuat banyak orang kesulitan untuk menggunakan atau memperjualbelikan karya secara legal.
Melalui Story Protocol, Lee ingin mengubah hak cipta menjadi sesuatu yang hidup dan bisa bergerak bebas seperti saham digital. Bayangkan sebuah lagu yang diubah menjadi token di blockchain. Para penggemar bisa membeli sebagian “saham” dari lagu itu, dan setiap kali lagu tersebut menghasilkan uang di platform seperti Spotify, para pemegang token akan otomatis mendapatkan bagian keuntungan. Kreator pun bisa memperoleh modal langsung dari penggemar tanpa harus bergantung pada label besar. Karya kreatif yang dulu hanya bisa dimiliki oleh segelintir pihak kini bisa menjadi aset yang likuid dan transparan.
Konsep keduanya lebih menarik lagi, menjadikan hak cipta seperti Lego. Setiap karya diberi aturan otomatis misalnya, siapa pun boleh memakai karakter tertentu untuk proyek baru asalkan pembuat aslinya otomatis mendapat royalti 10 persen. Dengan cara ini, karya turunan bisa berkembang pesat tanpa kekhawatiran hukum, karena semua transaksi dan aturan tercatat di blockchain. Ini seperti membuat “GitHub” untuk dunia kreativitas, semua orang bisa berkolaborasi dengan aman dan saling menguntungkan.
Teknologi ini juga punya kaitan besar dengan dunia kecerdasan buatan. AI seperti ChatGPT dilatih menggunakan miliaran data buatan manusia, tetapi para pembuat data itu tidak pernah dibayar. Dengan sistem Story Protocol, orang bisa menjual data mereka sendiri secara adil dan transparan. Misalnya, jika perusahaan AI membutuhkan video seseorang sedang mengangkat cangkir untuk melatih robot, mereka bisa langsung membayar orang yang mengunggah video itu dalam bentuk crypto. Tidak ada lagi eksploitasi data tanpa kompensasi.
Kisah pribadi Sunung Yun Lee menambah kedalaman visinya. Sebelum membangun Story Protocol, ia mendirikan Radish Fiction, aplikasi cerita bersambung yang akhirnya dijual seharga 440 juta dolar. Ia pernah hampir bangkrut ketika investornya mundur tiba-tiba dan hanya punya dana untuk satu bulan gaji karyawan. Tapi pengalaman itu membentuk misinya: membangun sistem yang benar-benar memberi dampak bagi para kreator, bukan sekadar mencari keuntungan. Dengan Story Protocol, Lee ingin dunia kreatif dan teknologi akhirnya berdiri di sisi yang sama, adil, terbuka, dan saling memberdayakan.
