Kekecewaan Ekonomi Kaum Muda Bisa Picu Gelombang Sosialisme, Seperti yang Terjadi di New York
Kemenangan Zohran Mamdani sebagai walikota New York City yang secara terbuka menganut sosialisme demokratis bukanlah kejadian terisolasi, melainkan gejala dari erosi kepercayaan generasi muda terhadap kapitalisme. Pandangan ini diperkuat oleh Peter Thiel, miliarder teknologi dan investor PayPal serta Palantir, yang memperingatkan bahwa kondisi ekonomi yang terus memburuk, utang menumpuk, harga rumah tak terjangkau, lapangan kerja sulit, dan karir stagnan, dapat mendorong kaum muda ke arah sosialisme atau bahkan komunisme sebagai alternatif sistem.
Thiel menyebut fenomena ini sebagai “proletarisasi” generasi muda: mereka lulus dengan modal negatif, tanpa akumulasi aset, dan tanpa harapan naik kelas. “Ketika seseorang memulai hidup dengan saldo minus ratusan ribu dolar karena utang kuliah, lalu melihat rumah pertama berharga 10 kali lipat pendapatan tahunan, partisipasi dalam kapitalisme terasa seperti permainan yang sudah kalah sebelum dimulai,” ujar Thiel dalam wawancara terbaru dengan The Free Press. Bagi generasi sebelumnya, kepemilikan rumah, pensiun aman, dan mobilitas sosial adalah norma. Bagi Gen Z dan milenial, itu kini terasa seperti dongeng.
Data mendukung peringatan Thiel. Survei Harvard Youth Poll 2025 menunjukkan 61 persen responden usia 18-29 tahun merasa “sistem ekonomi saat ini tidak bekerja untuk mereka”, sementara 49 persen lebih memilih “perubahan struktural besar” daripada reformasi kecil.
Kemenangan Mamdani di New York adalah bukti nyata dari hipotesis Thiel. Dengan 50,4 persen suara, kandidat berusia 34 tahun ini mengalahkan mesin politik Cuomo berkat dukungan masif dari pemilih di bawah 45 tahun, kelompok yang sama yang, menurut Thiel, sedang “diproletarisasi”. Programnya, bus gratis, pembekuan sewa, upah minimum 30 dolar per jam bukan sekadar janji populis, melainkan respons langsung terhadap rasa putus asa ekonomi yang dirasakan pemuda New York, di mana 1 dari 4 anak muda hidup dalam kemiskinan (U.S. Census Bureau).
Thiel tidak mendukung sosialisme. Ia justru menggunakan prediksi ini sebagai “alarm” bagi kapitalisme. “Jika kita tidak memperbaiki sistem dengan akses pendidikan murah, perumahan terjangkau, dan peluang kepemilikan aset, maka sosialisme bukan lagi pilihan, tapi konsekuensi,” katanya. Ia menyarankan reformasi seperti deregulasi perumahan, kredit pajak untuk kepemilikan saham karyawan, dan pendanaan pendidikan berbasis hasil, bukan pinjaman.
Implikasi politiknya luas. Partai Demokrat kini terpecah: sayap progresif melihat Mamdani sebagai masa depan, sementara moderat seperti Hakeem Jeffries menolak label “sosialis”. Di sisi Republik, Donald Trump mengancam memotong dana federal untuk New York, menyebutnya “kota komunis”. Namun, bagi Thiel, perdebatan ideologi ini bukan lagi teori melainkan respons terhadap realitas ekonomi yang dialami jutaan pemuda.
Faktor lain seperti disrupsi AI, gig economy, dan globalisasi juga mempercepat proses ini. Laporan McKinsey 2025 memprediksi 45 persen pekerjaan saat ini akan terotomatisasi dalam dekade mendatang, terutama di sektor yang didominasi milenial. Ketika pekerjaan stabil hilang dan aset tak terjangkau, sosialisme dengan janji pendapatan dasar, perumahan publik, dan redistribusi menjadi semakin menarik.
Thiel menegaskan bahwa “komunisme” yang ia sebut bukanlah tiruan Uni Soviet, melainkan bentuk ekstrem dari penolakan terhadap sistem yang gagal. “Ini bukan tentang mengambil alih alat produksi, tapi tentang rasa keadilan yang hilang,” katanya. Bagi generasi yang tumbuh di era krisis perumahan 2008, resesi COVID, dan inflasi 2020-an, kapitalisme bukan lagi janji kemakmuran melainkan warisan kegagalan.
Kemenangan Mamdani dan peringatan Thiel menyatukan dua sisi koin yang sama: kapitalisme sedang diuji, dan generasi muda adalah juri. Jika sistem tidak berevolusi untuk memberi mereka saham dalam masa depan bukan sekadar upah, tapi kepemilikan, maka gelombang sosialisme bukan lagi kemungkinan, melainkan keniscayaan.
