Kecemasan Warga Kelas Menengah Indonesia

Last modified date

Selama dua dekade terakhir, Indonesia tumbuh stabil sekitar lima persen per tahun, mampu bertahan dari krisis global, “taper tantrum”, hingga pandemi COVID-19. Inflasi terkendali dan defisit anggaran tetap rendah. Namun di balik semua angka baik itu, tersimpan lapisan masyarakat yang rapuh, kelas menengah bawah yang tidak miskin secara statistik, tetapi belum cukup aman untuk menghadapi guncangan ekonomi. Mereka tidak termasuk penerima bantuan sosial, tetapi juga tidak punya tabungan atau perlindungan saat penghasilan turun.

Seperti yang ditulis oleh Chatib Basri, seorang ekonom terkemuka Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia (2013–2014) di Carnegie Endowment, pandemi sempat menjadi pengecualian, karena pemerintah memperluas bantuan sosial ke lebih banyak warga.

Tapi setelah itu, dukungan kembali dipersempit. Akibatnya, banyak pekerja seperti Affan Kurniawan, sopir ojek daring yang tewas dalam demonstrasi, kembali merasa sendirian menghadapi risiko hidup. Ia bukan orang miskin, tapi juga bukan orang aman dan kisahnya menjadi simbol keresahan kelas menengah yang merasa terpinggirkan.

Protes besar yang menyusul bukan karena kelangkaan makanan atau inflasi, tapi karena rasa ketidakadilan dan frustrasi sosial. Para mahasiswa dan profesional muda yang melihat gaya hidup mewah pejabat di media sosial merasa negara tidak berpihak pada mereka. Media sosial memperjelas jurang itu, mengubah ketimpangan ekonomi menjadi kemarahan politik.

Pasar kerja memperburuk keadaan. Sebagian besar lapangan kerja baru bersifat informal dengan upah rendah dan tanpa jaminan. Seperti kata ekonom UI, Aris Ananta, “pengangguran adalah barang mewah” karena hanya orang berduit yang bisa menunggu pekerjaan layak. Sebaliknya, yang miskin dan rapuh terpaksa bekerja apa saja, sering kali tanpa perlindungan.

Basri menegaskan bahwa masalah ini tak bisa diselesaikan hanya dengan menambah subsidi. Reformasi struktural mutlak diperlukan untuk menciptakan pekerjaan formal dan meningkatkan produktivitas. Deregulasi, penyederhanaan perizinan, dan kepastian hukum akan menekan biaya ekonomi tinggi yang selama ini membuat investasi enggan masuk ke sektor manufaktur. Tanpa langkah ini, ekonomi akan terus bergantung pada ekspor sumber daya alam sektor yang padat modal tapi miskin tenaga kerja.

Namun, deregulasi juga berhadapan dengan kepentingan birokrasi. Banyak pejabat yang diuntungkan oleh sistem yang rumit, karena izin dan regulasi bisa dijadikan sumber pendapatan tambahan. Karena itu, reformasi ekonomi harus disertai reformasi politik dan tata kelola pemerintahan agar kebijakan bisa berjalan.

Basri menutup tulisannya dengan refleksi yang dalam, ekonomi saja tidak cukup. Indonesia bisa belajar dari Chile, Sri Lanka, atau Nepal, di mana stabilitas makro tak mampu menahan ledakan sosial ketika rasa keadilan hilang. Indonesia masih punya modal kuat, utang luar negeri rendah, ekonomi stabil, demokrasi tetap hidup, tapi semua itu akan sia-sia jika rakyat kehilangan kepercayaan.

Kisah Affan Kurniawan mengingatkan bahwa di balik angka-angka pertumbuhan, ada manusia yang merasa tak dihargai. Dan seperti kata Basri, yang membuat bangsa bertahan bukan statistiknya, tetapi kepercayaan antara rakyat dan negara.

Afditya Imam