Indonesia Terbitkan Obligasi Pertama dalam Mata Uang Yuan China senilai Rp13,28 triliun

Last modified date

Pemerintah Indonesia baru saja mencetak sejarah baru di dunia keuangan internasional. Untuk pertama kalinya, Indonesia menerbitkan obligasi atau surat utang negara dalam mata uang China, yaitu yuan atau renminbi. Nilai totalnya mencapai sekitar 6 miliar yuan atau setara Rp13,28 triliun. Dana dari penerbitan ini akan digunakan untuk keperluan umum pemerintah, seperti pembiayaan proyek pembangunan dan menjaga stabilitas keuangan negara.

Obligasi ini dijual dalam dua jenis. Jenis pertama memiliki jangka waktu lima tahun dengan bunga sekitar 2.5% per tahun. Jenis kedua memiliki jangka waktu sepuluh tahun dengan bunga 2.9% per tahun. Surat utang ini akan diperdagangkan di Bursa Efek Singapura, sementara aturan hukumnya tetap mengikuti sistem hukum Amerika Serikat agar lebih dipercaya oleh investor global.

Langkah ini menjadi tonggak penting karena sebelumnya pemerintah Indonesia selalu menerbitkan surat utang dalam rupiah, dolar Amerika, atau yen Jepang. Kini, dengan diterbitkannya obligasi dalam yuan, Indonesia secara resmi bergabung dengan negara-negara yang mulai mendiversifikasi sumber pembiayaannya dan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada sistem keuangan berbasis dolar.

Tujuan utama dari langkah ini adalah untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika, yang selama ini mendominasi perdagangan dan keuangan dunia. Dengan menggunakan yuan, Indonesia membuka pintu bagi lebih banyak investor dari China dan negara-negara Asia lainnya yang tertarik berinvestasi menggunakan mata uang mereka sendiri. Selain itu, diversifikasi ini memberi Indonesia fleksibilitas yang lebih besar dalam mencari pembiayaan dan mengurangi risiko fluktuasi nilai tukar dolar.

Menariknya, minat investor terhadap obligasi ini sangat tinggi. Permintaan mencapai tiga kali lipat dari jumlah yang ditawarkan, menunjukkan kepercayaan besar terhadap stabilitas ekonomi Indonesia di tengah situasi global yang tidak menentu. Hal ini menegaskan bahwa pasar masih melihat Indonesia sebagai negara dengan prospek ekonomi yang kuat dan layak dijadikan tujuan investasi.

Namun, langkah ini bukan berarti Indonesia sepenuhnya meninggalkan dolar Amerika. Transaksi penerbitan obligasi ini tetap menggunakan sistem keuangan global yang berhubungan dengan dolar, seperti pendaftaran di Amerika dan penggunaan hukum New York. Jadi, lebih tepat dikatakan bahwa Indonesia tidak sedang menghindari dolar, melainkan sedang menambah alternatif dan memperluas jaringan finansialnya.

Bagi Indonesia, langkah ini membawa kesempatan untuk mengakses sumber pendanaan baru, mendapatkan bunga yang lebih kompetitif, dan memperkuat hubungan ekonomi dengan China yang kini menjadi mitra dagang terbesar Indonesia. Bagi dunia, penerbitan ini menjadi sinyal nyata bahwa tren dedolarisasi atau pengurangan dominasi dolar mulai bergerak semakin cepat, terutama di kawasan Asia.

Walau begitu, dolar Amerika masih memegang peranan penting. Lebih dari delapan puluh persen transaksi global masih menggunakan dolar sebagai mata uang utama. Artinya, langkah Indonesia baru merupakan awal dari proses panjang menuju sistem keuangan dunia yang lebih beragam dan seimbang.

Keputusan Indonesia menerbitkan obligasi dalam yuan adalah strategi cerdas untuk memperkuat posisi keuangan negara di tengah perubahan global. Langkah ini memperlihatkan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi pengikut arus, tetapi juga berani mengambil peran dalam membentuk tatanan ekonomi baru yang lebih mandiri dan tidak sepenuhnya bergantung pada satu mata uang dominan.

Afditya Imam