Benarkah ChatGPT OpenAI Minta Bailout Pemerintah AS

Last modified date

Perusahaan pembuat ChatGPT, OpenAI, tengah jadi sorotan setelah laporan keuangan dan pernyataan para eksekutifnya memunculkan kekhawatiran besar di pasar. Alasannya: perusahaan ini berencana menggelontorkan dana sekitar 1,4 triliun dolar AS untuk membangun infrastruktur kecerdasan buatan (AI) masa depan, sementara pendapatan tahunan mereka baru mencapai sekitar 13 miliar dolar AS.

Angka tersebut menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana OpenAI akan membiayai ambisi sebesar itu? Dalam sebuah podcast baru-baru ini, CEO Sam Altman ditanya langsung soal selisih besar antara pendapatan dan rencana pengeluaran tersebut. Altman menjawab dengan nada yang dianggap cukup defensif, menekankan bahwa nilai jangka panjang dari pengembangan AI jauh lebih penting dibandingkan keuntungan jangka pendek. Menurutnya, investasi masif ini adalah bagian dari upaya membangun kemampuan AI yang benar-benar transformatif untuk masa depan.

Namun, banyak pengamat menilai jawaban itu masih belum cukup menjelaskan dari mana dana sebesar itu akan berasal.

Kekhawatiran pasar semakin memuncak ketika Sarah Friar, CFO (Chief Financial Officer) OpenAI, mengatakan dalam sebuah acara Wall Street Journal Tech Live bahwa pemerintah Amerika Serikat bisa saja memberikan jaminan pinjaman (loan guarantees) untuk membantu perusahaan seperti OpenAI mendapatkan bunga yang lebih rendah.

Pernyataan singkat itu langsung memicu spekulasi liar. Banyak yang menafsirkan bahwa OpenAI tengah “minta bailout” atau bantuan keuangan dari pemerintah seperti yang biasa terjadi pada perusahaan yang sedang kesulitan. Dalam hitungan jam, isu ini menyebar luas dan sempat membuat beberapa saham teknologi terkait AI, termasuk Microsoft dan Nvidia, mengalami penurunan.

Menanggapi kehebohan tersebut, Sam Altman segera mengeluarkan pernyataan panjang di media sosial dan kepada beberapa media besar seperti Reuters dan TechCrunch. Ia menegaskan bahwa OpenAI tidak meminta, tidak memiliki, dan tidak menginginkan jaminan pemerintah untuk proyek pusat datanya. Altman menambahkan, pemerintah tidak seharusnya memilih “pemenang dan pecundang” dalam industri AI.

Altman mengakui bahwa OpenAI memang berdiskusi dengan pemerintah mengenai pengembangan infrastruktur dan manufaktur chip, namun ia menegaskan bahwa pembicaraan itu bukanlah permintaan bantuan langsung atau dana talangan.

Kisruh ini tidak hanya berpengaruh pada reputasi OpenAI, tapi juga pada sektor teknologi secara keseluruhan. Menurut laporan Bloomberg, kabar tentang kemungkinan masalah pendanaan OpenAI “menekan reli saham AI” di pasar. Banyak investor khawatir jika perusahaan sebesar OpenAI saja menghadapi kesulitan pembiayaan, maka seluruh rantai industri AI mulai dari penyedia chip, server, hingga perusahaan perangkat lunak bisa ikut terdampak.

Di sisi lain, sejumlah analis menilai bahwa langkah OpenAI masih bisa dimaknai sebagai strategi jangka panjang. Perusahaan ini berinvestasi besar sekarang untuk memastikan dominasinya di masa depan. Namun, ketimpangan antara pendapatan dan pengeluaran sebesar itu juga membuka risiko besar terutama jika pendapatan tidak tumbuh secepat yang diharapkan atau biaya infrastruktur terus meningkat.

Dari sudut pandang kebijakan publik, perdebatan ini juga menimbulkan pertanyaan penting, apakah perusahaan AI “raksasa” seperti OpenAI seharusnya bisa mendapat dukungan pemerintah, atau justru harus berdiri sendiri di pasar bebas?

Kasus ini bukan sekadar gosip tentang kemungkinan kebangkrutan, melainkan peringatan bahwa perlombaan menuju AI supercanggih juga adalah perlombaan finansial raksasa. OpenAI kini berada di titik krusial di mana langkahnya dalam mengelola dana, membangun infrastruktur, dan menjaga kepercayaan pasar akan menentukan masa depan seluruh industri kecerdasan buatan global.

Jika berhasil, OpenAI bisa mengukuhkan diri sebagai pemimpin revolusi teknologi terbesar abad ini. Namun jika gagal, episode ini bisa menjadi contoh klasik tentang bagaimana ambisi besar bisa runtuh karena tekanan finansial yang tak tertahankan.

Afditya Imam