Anak Muda Jadi Pekerja Lepas, Cermin dari Masalah Ekonomi Negara
Gita Wirjawan, mantan Menteri Perdagangan Indonesia dan penulis buku “What It Takes: Southeast Asia”, membahas isu ini dalam podcastnya yang terbaru. Dalam salah satu episodenya itu, ia menjelaskan mengapa semakin banyak anak muda sekarang bekerja sebagai pekerja lepas atau informal, dan bagaimana hal ini mencerminkan struktur ekonomi negara Indonesia yang belum kokoh.
Banyak anak muda kini memilih jadi pekerja lepas seperti ojek online, desainer, kurir, artis, atau kreator konten bukan karena malas atau tidak kompeten, melainkan karena kondisi ekonomi mendorong mereka ke arah itu. Dari sekitar 150 juta orang yang bekerja di Indonesia, lebih dari separuhnya (sekitar 80–90 juta) adalah pekerja informal. Dari jumlah itu, sekitar 40 juta termasuk pekerja “gig”, yakni mereka yang mengandalkan aplikasi seperti Gojek, Grab, atau platform freelance.
Masalah ini bukan soal individu, tapi masalah struktural. Indonesia masih kekurangan modal dalam negeri untuk membangun industri besar yang bisa menyerap banyak tenaga kerja formal. Akibatnya, negara bergantung pada investasi asing (FDI) untuk menciptakan lapangan kerja baru. Namun, investor hanya tertarik jika tenaga kerja di negara tujuan produktif dan berkualitas. Produktif artinya bisa menghasilkan barang dan jasa secara efisien dan inovatif.
Di sinilah peran pendidikan menjadi krusial. Gita menekankan bahwa negara dengan banyak tenaga ahli di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) akan lebih mudah menarik investasi besar. Sayangnya, Indonesia masih minim lulusan di bidang ini, sehingga kalah bersaing dengan negara seperti Korea Selatan atau Vietnam. Karena itulah investasi besar yang bisa membuka lapangan kerja formal belum banyak mengalir, dan anak muda akhirnya lebih banyak mencari nafkah lewat pekerjaan informal atau freelance.
Pemerintah juga dihadapkan pada dilema. Jika aturan dibuat terlalu ketat, misalnya mewajibkan semua pekerja gig menjadi karyawan tetap, maka perusahaan digital bisa hengkang, atau para pekerja justru kehilangan fleksibilitas yang mereka nikmati. Tapi jika aturan dibuat terlalu longgar, mereka tidak punya perlindungan sosial, seperti asuransi kesehatan atau jaminan pensiun.
Solusi yang realistis, menurut Gita, harus dua arah. Dalam jangka pendek, negara perlu menciptakan sistem perlindungan sosial bagi pekerja gig tanpa menghilangkan kebebasan mereka dalam memilih waktu dan cara kerja. Dalam jangka panjang, investasi besar-besaran di sektor pendidikan, terutama peningkatan kualitas guru dan jumlah lulusan STEM, adalah kunci agar Indonesia bisa naik kelas dan menciptakan lebih banyak pekerjaan formal.
Banyaknya pekerja lepas bukanlah tanda kemunduran, tetapi cerminan dari tantangan struktural ekonomi Indonesia. Solusi sejati bukan menyalahkan generasi mudanya, melainkan memperbaiki sistem pendidikan dan ekonomi agar negara mampu menyediakan pekerjaan yang layak dan berkelanjutan bagi semua.
