Kabar Baik Untuk Startup, Perusahaan Besar Payah Soal AI

Last modified date

Y Combinator adalah lembaga akselerator startup paling berpengaruh di dunia, berbasis di Silicon Valley, Amerika Serikat. Tempat ini dikenal sebagai “tempat lahirnya” banyak perusahaan teknologi besar seperti Airbnb, Dropbox, Stripe, dan Reddit. Setiap tahun, mereka membina ratusan startup muda dengan modal awal, bimbingan bisnis, dan jaringan investor kelas dunia. Jadi, kalau Y Combinator bicara soal tren teknologi seperti AI, biasanya seluruh dunia startup akan memperhatikannya.

Dan dalam salah satu podcast mereka, Y Combinator menyampaikan kabar mengejutkan tapi menggembirakan, perusahaan besar ternyata sangat buruk dalam menerapkan teknologi AI. Tapi justru di situlah peluang besar terbuka untuk startup yang gesit, kreatif, dan berani mencoba.

AI “Gagal 95%”? Ternyata Cuma Setengah Benar

Banyak orang di internet bilang bahwa 95% proyek AI gagal, lalu disimpulkan bahwa AI itu cuma hype. Tapi menurut Y Combinator, angka itu benar hanya separuhnya. Yang salah bukan AI-nya, tapi perusahaan besar yang tidak tahu cara menggunakannya dengan benar. Mereka punya sumber daya, tapi tidak punya semangat atau keahlian yang tepat untuk memanfaatkannya.

Kenapa Perusahaan Raksasa Justru “Payah” Soal AI

Pertama, tim internal mereka sendiri sering tidak percaya dengan AI. Banyak engineer di perusahaan besar merasa AI cuma tren. Mereka bahkan senang kalau ada penelitian yang bilang AI itu berlebihan. Kalau yang bikin saja tidak yakin, wajar kalau hasilnya gagal.

Kedua, software internal mereka saja sering berantakan. Contohnya Apple, salah satu perusahaan paling kaya dan pintar di dunia, aplikasi kalendernya saja masih sering error. Kalau perusahaan sekelas Apple bisa begitu, apalagi bank atau perusahaan asuransi biasa.

Ketiga, saat gagal, mereka malah menyewa konsultan mahal seperti Ernst & Young atau Deloitte. Masalahnya, konsultan hebat dalam presentasi dan rapat, tapi tidak selalu jago bikin software. Ada satu bank yang awalnya mau beli produk AI dari startup bernama Greenlight, tapi berubah pikiran dan memilih konsultan mahal. Setahun kemudian, proyek dari konsultan itu gagal total, dan si bank malah kembali ke startup itu sambil malu-malu.

Keempat, perusahaan besar penuh dengan politik dan rapat. Setiap departemen punya ego dan kepentingannya sendiri. Akhirnya produk yang dihasilkan adalah kompromi dari semua pihak, hasilnya tidak memuaskan siapa pun. Ibarat mau bikin kuda tapi hasil akhirnya malah unta.

Saat Perusahaan Besar Gagal, Startup Jadi Pahlawan

Kegagalan perusahaan besar justru membuka peluang besar bagi startup. Startup AI sejati (“AI-native”) membangun produknya dari nol dengan AI sebagai inti sistemnya. Sementara perusahaan lama cuma menempelkan fitur AI di software jadul mereka (“AI tempelan”).

Contohnya, startup bernama Castle AI diadu dengan vendor lama dalam tes kemampuan produk. Hasilnya, Castle AI menang telak karena teknologinya jauh lebih matang dan efisien.

Startup juga lebih mau “terjun langsung”. Mereka tidak cuma menjual software lalu pergi, tapi duduk bareng klien, belajar cara kerja mereka, lalu bantu integrasikan AI ke sistem lama. Pendekatan ini membuat mereka jauh lebih dipercaya.

Bahkan raksasa teknologi seperti Google atau Facebook pun bisa kalah. Startup bernama Reduct sukses menjual produk AI-nya ke salah satu perusahaan besar FAANG, padahal perusahaan itu sudah bertahun-tahun gagal membuat sistem serupa sendiri.

Strategi Cerdas Startup untuk Menembus Klien Besar

Kunci pertama, cari “champion” orang dalam perusahaan besar yang diam-diam pro-startup. Biasanya dia orang pintar yang ingin berinovasi tapi terjebak birokrasi. Ia bisa jadi jembatan agar ide startup bisa masuk dan menang di tengah politik kantor besar.

Kunci kedua: jangan pura-pura jadi perusahaan besar. Startup justru lebih menarik kalau tampil apa adanya. Klien besar suka melihat energi, kejujuran, dan semangat khas startup. Itu menular dan membuat mereka ikut bersemangat.

Perusahaan besar butuh AI, tapi mereka tidak bisa membuatnya sendiri. Mau tidak mau, mereka harus membeli solusi dari startup. Dan begitu mereka sudah memakai sistem AI buatan startup dan melatihnya dengan data mereka sendiri, akan sangat sulit untuk pindah ke vendor lain.

Dengan kata lain, begitu startup berhasil “masuk”, posisi mereka hampir tidak bisa digantikan. Itulah kabar baik untuk semua pendiri startup di era AI ini perusahaan besar butuh kamu, bahkan lebih dari yang kamu kira.

Afditya Imam