Di Balik Gemerlap Hong Kong, Kisah Kesenjangan yang Semakin Dalam

Last modified date

Hong Kong adalah sebuah kota yang dibangun di atas paradoks. Dikenal di seluruh dunia sebagai pusat keuangan yang gemerlap dengan deretan gedung pencakar langit yang megah, ia juga merupakan rumah bagi salah satu tingkat kesenjangan kekayaan paling ekstrem di dunia. Di kota ini, realitas bagi kaum terkaya dan termiskin adalah dua dunia yang sama sekali berbeda. Statistik yang ada sangat mengejutkan: kelompok terkaya di Hong Kong memiliki pendapatan 81 kali lipat lebih besar daripada kelompok termiskin, dan segelintir 0,001% penduduk terkaya menguasai 85% dari seluruh kekayaan kota. Jurang yang dalam ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil dari pergeseran sejarah dan pilihan kebijakan yang disengaja selama beberapa dekade.

Akar Sejarah, Transformasi Ekonomi yang Menyakitkan

Untuk memahami kesenjangan hari ini, kita harus kembali ke era 1980-an. Sebelumnya, Hong Kong adalah pusat manufaktur yang sibuk, di mana struktur ekonominya memungkinkan distribusi kekayaan yang lebih merata. Namun, ketika Tiongkok daratan membuka diri terhadap dunia, lanskap ekonomi berubah drastis. Pabrik-pabrik di Hong Kong mulai memindahkan operasinya ke seberang perbatasan untuk memanfaatkan biaya tenaga kerja yang jauh lebih rendah. Menghadapi kehilangan basis industrinya, Hong Kong melakukan pivot strategis yang menentukan nasibnya, mengubah diri menjadi pusat global untuk keuangan, properti, dan jasa.

Transformasi ini memang berhasil mempertahankan status Hong Kong sebagai pemain ekonomi utama, tetapi harus dibayar dengan harga sosial yang mahal. Sektor keuangan, yang tumbuh dari hanya 5% tenaga kerja pada 1980-an menjadi 20% pada 2021, menciptakan sebuah kelas elite profesional dengan gaji yang sangat tinggi. Di saat yang sama, para pekerja manual dan mantan buruh pabrik tertinggal, terpaksa bersaing di sektor jasa berupah rendah. Ekonomi Hong Kong secara efektif terbelah menjadi dua: satu untuk kaum profesional berpenghasilan tinggi, dan satu lagi untuk seluruh lapisan masyarakat lainnya yang upahnya stagnan.

Kebijakan yang Mempercepat Kesenjangan

Struktur ekonomi yang timpang ini diperparah oleh serangkaian kebijakan pemerintah yang secara konsisten menguntungkan kaum kaya dan pemilik modal. Pemerintah Hong Kong menerapkan sistem pajak yang sangat menarik bagi investor, yang pada praktiknya berfungsi sebagai akselerator kesenjangan. Kebijakan-kebijakan utamanya meliputi:

  • Nol Pajak Kekayaan: Tidak ada pajak yang dikenakan atas total aset seseorang.
  • Nol Pajak Keuntungan Modal: Keuntungan dari penjualan saham dan investasi lainnya tidak dikenakan pajak.
  • Nol Pajak Warisan: Kekayaan dapat diwariskan dari generasi ke generasi tanpa dipotong pajak (dihapuskan pada 2006).
  • Pajak Perusahaan yang Rendah: Salah satu tarif pajak korporat terendah di dunia.

Kombinasi kebijakan ini menciptakan surga bagi akumulasi kekayaan. Sementara modal terus mengalir masuk dan nilai aset meroket, hasilnya sebagian besar dinikmati oleh mereka yang sudah berada di puncak, dengan sangat sedikit redistribusi kepada masyarakat luas. Ditambah lagi, pengaruh kuat dari para taipan bisnis di lingkaran politik memastikan bahwa sistem yang menguntungkan ini tetap kokoh dan tidak tersentuh.

Realitas Pahit di Lapangan

Bagi jutaan penduduk biasa Hong Kong, konsekuensi dari model ekonomi ini sangat nyata dan menyakitkan. Mereka dihadapkan pada salah satu biaya hidup tertinggi di dunia, sementara upah mereka gagal mengimbanginya. Biaya sewa yang mencekik, harga makanan yang mahal, dan transportasi yang terus naik membuat kehidupan sehari-hari menjadi sebuah perjuangan.

Lebih dari satu juta orang hidup di bawah garis kemiskinan, banyak di antaranya terjebak dalam rumah kandang atau apartemen subdivisi yang sempit dan tidak layak huni, sebuah simbol nyata dari sisi gelap kemakmuran Hong Kong. Pada akhirnya, mesin ekonomi kota yang begitu dipuja telah menciptakan sebuah masyarakat yang sangat terpolarisasi, di mana kemewahan yang ekstrem hidup berdampingan dengan kemiskinan yang tersembunyi, meninggalkan pertanyaan besar tentang keberlanjutan dan keadilan sosial dari model pembangunannya.

Afditya Imam