Ray Dalio: Fase Kritis Dominasi Dolar AS
Gelombang kegelisahan kembali menyapu pasar keuangan global setelah Ray Dalio, pendiri hedge fund raksasa Bridgewater Associates, memberi peringatan serius soal masa depan dolar Amerika Serikat.
Pernyataan itu diunggah di akun X miliknya pada Senin malam, 9 Desember 2025, dimana Dalio membeberkan pola sejarah runtuhnya mata uang-mata uang besar dunia yang selama ratusan tahun pernah mendominasi sistem keuangan global. Kali ini, fokus peringatannya tertuju tajam pada dolar AS yang telah menjadi mata uang cadangan dunia sejak 1944.
Dalam penjelasannya, Dalio menguraikan bahwa selama lima abad terakhir dunia selalu menyaksikan siklus yang nyaris identik. Sebuah negara mencapai puncak kekuatan ekonomi ketika mata uangnya digunakan secara luas sebagai alat transaksi internasional.
Status itu memberi keuntungan luar biasa, mulai dari kemudahan berutang dengan bunga murah, pembiayaan gaya hidup negara yang semakin besar, hingga perluasan pengaruh politik dan militer ke berbagai penjuru dunia.
Namun, menurut Dalio, fase kejayaan itu hampir selalu berakhir dengan pola yang sama pula. Utang terus menumpuk, pencetakan uang meningkat untuk menutup defisit, nilai mata uang tergerus oleh inflasi, dan perlahan dominasi ekonomi itu melemah.
Sejarah mencatat bagaimana guilder Belanda berjaya pada abad ke-17 sebelum akhirnya tersingkir, lalu disusul poundsterling Inggris yang merajai abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, sebelum kehilangan tahtanya.
Dalio menilai sinyal-sinyal yang kini terlihat di Amerika Serikat memiliki kemiripan mencolok dengan fase akhir kejayaan mata uang-mata uang besar di masa lalu. Sejak pandemi 2020, pemerintah AS menggelontorkan stimulus fiskal dan ekspansi moneter dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Tujuannya jelas, yakni menyelamatkan ekonomi dari resesi dalam. Namun dampak lanjutannya juga sangat besar. Jumlah uang beredar melonjak tajam, defisit anggaran melebar, sementara inflasi menggerus daya beli masyarakat secara perlahan tetapi pasti.
Berdasarkan perhitungan Dalio, nilai riil satu dolar saat ini hanya setara sekitar 81 sen dibandingkan tahun 2020, yang berarti inflasi kumulatif telah melampaui 23 persen hanya dalam lima tahun.
Di sisi lain, persoalan utang menjadi sorotan utama. Utang nasional Amerika Serikat kini telah menembus lebih dari 36 triliun dolar AS, atau melampaui 120 persen dari produk domestik bruto. Beban bunga utang bahkan telah menjelma menjadi salah satu pos pengeluaran terbesar dalam anggaran federal, menyaingi belanja untuk jaminan sosial dan pertahanan.
Bagi Dalio, kombinasi antara utang yang menumpuk, ketergantungan pada pencetakan uang, serta meningkatnya tensi geopolitik global merupakan campuran berbahaya yang secara historis selalu menjadi pemicu melemahnya mata uang dominan.
Respon publik terhadap pernyataan tersebut sangat luar biasa. Banyak warganet menilai Dalio hanya menyuarakan keresahan yang selama ini diam-diam dirasakan publik. Dominasi dolar dianggap mulai tergerus seiring semakin banyak negara yang aktif mengurangi ketergantungan pada mata uang AS.
Perdagangan bilateral dengan mata uang lokal kian marak, penggunaan yuan Tiongkok dalam transaksi energi semakin meluas, sementara emas dan aset alternatif kembali mendapatkan perhatian sebagai pelindung nilai. Sejumlah pengamat bahkan membandingkan situasi saat ini dengan kejatuhan poundsterling pada dekade 1950–1970-an, ketika Inggris kehilangan statusnya sebagai pusat finansial dunia dan terpaksa meminta bantuan darurat ke Dana Moneter Internasional.
Dalio mengingatkan masyarakat agar tidak menggantungkan seluruh kekayaan pada satu jenis aset atau satu mata uang saja. Menurutnya, ketika sebuah “keranjang” ekonomi mulai menunjukkan tanda-tanda retak, risiko bagi siapa pun yang sepenuhnya bergantung pada keranjang itu akan membesar secara eksponensial. Dalam pandangan Dalio, diversifikasi kini bukan lagi sekadar strategi untuk mengejar keuntungan, melainkan bentuk perlindungan diri terhadap perubahan besar yang sedang berlangsung dalam sistem keuangan global.
Ia juga menegaskan bahwa peringatannya bukan berarti dolar akan runtuh secara tiba-tiba dalam waktu dekat. Berdasarkan pengalaman sejarah, proses pelemahan mata uang besar biasanya berjalan perlahan, hampir tidak terasa di tahap awal, lalu memasuki fase percepatan yang sulit dihentikan. Transisi itu kerap disertai gejolak pasar keuangan, krisis utang, ketegangan geopolitik, hingga munculnya alternatif baru dalam sistem moneter dunia.
Bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, peringatan ini memiliki arti penting. Meski sebagian besar aset masyarakat masih disimpan dalam rupiah, realitasnya banyak instrumen investasi, harga komoditas, hingga transaksi perdagangan internasional tetap sangat sensitif terhadap pergerakan dolar AS. Jika dolar melemah secara struktural, dampaknya bisa menjalar ke berbagai sektor, mulai dari nilai impor, stabilitas pasar keuangan, hingga strategi investasi ritel dan institusional. Dalam konteks ini, pesan Dalio terasa semakin relevan karena gejolak global tidak lagi berada di kejauhan, melainkan bergerak perlahan mendekat ke kehidupan ekonomi sehari-hari.
Apakah dolar benar-benar akan kehilangan tahtanya seperti yang dialami guilder Belanda dan poundsterling Inggris masih menjadi perdebatan besar di kalangan ekonom dan pembuat kebijakan. Namun satu hal yang semakin sulit dibantah, sebagaimana ditunjukkan oleh data dan pelajaran sejarah yang diangkat Dalio, adalah bahwa tidak ada mata uang yang berkuasa selamanya. Dan ketika perubahan besar itu benar-benar tiba, wajah dunia keuangan biasanya tidak pernah kembali sama.
